DIMENSI STRUKTUR ORGANISASI
Bab
1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Organisasi
mempunyai batasan-batasan tertentu (boundaries),
dengan demikian seseorang yang mengadakan hubungan interaksi dengan pihak
lainnya tidak atas kemauan sendiri, mereka dibatasi oleh aturan-aturan
tertentu. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan berstruktur didalamnya
dan berisi wewenang, tanggung jawab dan pembagian tugas untuk menjalankan
sesuatu fungsi tertentu.
Sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan antarsatu
dengan lainnya sedimikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan yang biasanya
berusaha mecapai tujuan tertentu. Sesuatu dapat dinamakan sistem bila terjadi
hubungan atau interrelasi dan interpendensi baik internal maupun eksternal antar
subsistem. Jadi organisasi adalah bentuk suatu sistem yang didalamnya memepunyai
struktur yang berbeda antara satu organisasi dengan yang lainnya.
Setiap organisasi mempunyai struktur yang berbeda yang
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anggotanya. Sebagaimana diketahui bahwa
tujuan pengorganisasian antara lain adalah: membagi pekerjaan yang harus
dilakukan menjadi departemen-departemen dan jabatan yang terperinci, membagi-bagi
tugas dan tanggung jawab berkaitan dengan masing-masing jabatan, mengoordinsasikan
berbagai tugas organisasi, mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan ke dalam unit-unit,
membangun hubungan di kalangan individu, kelompok dan departemen, menetapkan
garis garis wewenang formal, mengalokasikan dan memberikan sumber daya organisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dimensi struktur organisasi ?
2. Apakah
kompleksitas itu ?
3. Apa
saja bentuk diferensiasi kompleksitas ?
4. Apakah
formalisasi itu ?
5. Apakah
sentralisasi itu ?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dimensi struktur organisasi
2. Mengetahui
arti 3 dimensi struktur organisasi
3. Mengetahui
langkah-langkah formalisasi
Bab
2
PEMBAHASAN
A. Dimensi Struktur
Organisasi
Dimensi
struktur organisasi adalah pola tentang hubungan antara berbagai komponen dan
bagian organisasi. Pada organisasi formal struktur direncanakan dan merupakan
usaha sengaja untuk menetapkan pola hubungan antara berbagai komponen, sehingga
dapat mencapai sasaran secara efektif. Sedangkan pada organisasi informal,
struktur organisasi adalah aspek sistem yang tidak direncanakan dan timbul
secara spontan akibat interaksi peserta.
Struktur
organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa,
dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti.
Sebuah struktur organisasi mempunyai tiga dimensi yaitu : Kompleksitas,
Formalisasi, dan Sentralisasi (Robbins, 1990).
1.
Kompleksitas
Kompleksitas
merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap struktur organisasi. Kompleksitas
juga membawa pengaruh pada perilaku individu di dalam organisasi,
kondisi-kondisi struktural dalam organisasi, proses-proses yang terjadi di
dalam organisasi, serta hubungan antara organisasi dengan
lingkungannya.Kompleksitas merupakan sesuatu yang pertama-tama dirasakan oleh
individu ketika memasuki suatu organisasi.
Kompleksitas pada umumnya dapat
ditemui terutama dalam organisasi besar, seperti dalam perusahaan besar,
negara, angkatan bersenjata, universitas dan sebagainya. Namun sebenarnya, pada
organisasi yang sederhanapun kompleksitas ini dapat ditemukan. Misalnya dalam
organisasi tingkat desa seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), secara
sangat jelas menunjukkan adanya kompleksitas ini, apalagi sebuah organisasi
besar.
Kompleksitas
suatu organisasi disebabkan terutama karena bagian-bagian atau unit-unit kerja
yang ada di dalam organisasi itu memiliki berbagai macam variasi dalam
kompleksitasnya. Dalam uraian terdahulu mengenai perluasan vertikal maupun horizontal
telah dikemukakan bahwa bertambahnya kegiatan dan volume tugas-tugas yang
dijalankan organisasi menyebabkan terjadinya perluasan tersebut.
Kompleksitas
mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalam organisasi. Yang termasuk
didalam kompleksitas adalah :
-
Tingkat
Spesialisasi
-
Tingkat pembagian
kerja
-
Jumlah tingkatan
didalam hierarki organisasi
-
Tingkat sejauh
mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis
Kompleksitas struktur menggambarkan derajat diferensiasi
dalam suatu organisasi, baik diferensiasi
horizontal, diferensiasi vertikal,
maupun diferensiasi spasial.
Peningkatan salah satu dari jenis diferensiasi ini secara otomatis akan menambahkan
kompleksitas struktur sebuah organisasi.
a. Diferensiasi Horizontal
Diferensiasi horizontal merujuk pada tingkat diferensiasi
antara unit-unit berdasarkan orientasi anggotanya, sifat dari tugas yang mereka
laksanakan, dan tingkat pendidikan serta pelatihannya. Semakin banyak jenis
pekerjaan yang ada dalam organisasi yang membutuhan pengetahuan dan
keterampilan yang istimewa. Semakin kompleks pula organisasi tersebut karena
orientasi yang berbeda-beda akan lebih menyulitkan para anggota organisasi
untuk berkomunikasi serta lebih sukar bagi manajemen untuk mengkoordinasikan
kegiatan mereka.
Bukti
paling nyata pada organisasi yang menekankan diferensiasi horizontal adalah spesialisasi
dan departementalisasi. Spesialisasi merujuk pada pengelompokan aktivitas tertentu
yang dilakukan satu individu. Bentuk spesialisasi yang paling dikenal adalah spesialisasi
fungsional, dimana pekerjaan dipecah-pecah menjadi tugas yang sederhana dan berulang.
Jika para individunya yang dispesialisasi, dan bukan pekerjaannya, maka kita mempunyai
spesialisasi sosial. Spesialisasi sosial dicapai dengan menyewa tenaga profesional
yang mempunyai keterampilan yang tidak dapat dijadikan rutin dengan segera.
Pekerjaan
yang secara khas dilakukan oleh para insinyur, para ahli nuklir, dan para perawat
merupakan spesialisasi, tetapi kegiatan yang mereka lakukan bervariasi berdasarkan
situasi. Mengapa pembagian kerja masih berlaku? Pertama, pada pekerjaan yang
sangat kompleks dan memerlukan pengalaman, tidak ada satu pun orang yang dapat mengerjakan
semua tugas, karena adanya keterbatasan fisik. Kedua, keterbatasan dalam pengetahuan
merupakan hambatan. Ketiga, keterampilan seseorang dalam melakukan suatu tugas
akan meningakat lewat pengulangan pekerjaan. Keempat,
pembagian kerja meningkatkan efisiensi serta produktivitas dengan mendorong
terciptanya penemuan dan mesin khusus.
Pembagian
kerja menciptakan kelompok-kelompok spesialis, cara mengelompokan para
spesialis disebut sebagai departemenalisasi. Oleh karena itu departementalisasi
adalah cara organisasi secara khas mengkoordinasikan aktivitas yang telah didiferensiasi
secara horizontal.
b.
Diferensiasi vertikal.
Diferensiasi
vertikal merujuk pada kedalaman struktur. Diferensiasi meningkat, demikian pula
kompleksitasnya karena jumlah tingkatan hierarki di dalam organisasi bertambah.
Makin banyak tingkatan yang terdapat di antara top management dan tingkat yang
paling rendah, maka makin besar pula potensi terjadinya distorsi dalam
komunikasi, dan makin sulit mengkoordinasi pengambilan keputusan dari pegawai
manajerial, serta makin sukar bagi top management untuk mengawasi kegiatan
bawahannya.
Diferensiasi
vertikal sebaiknya diartikan sebagai tanggapan terhadap peningkatan
diferensiasi horizontal. Jika spesialisasi meluas, maka kooordinasi tugas makin
dibutuhkan. Faktor yang menentukan diferensiasi vertikal adalah rentang kendali.
Rentang kendali (span of control)
menetapkan jumlah bawahan yang dapat diatur dengan efektif oleh seorang
manajer. Jika rentangnya lebar, para manajer akan mempunyai banyak bawahan yang
melapor kepadanya. Jika rentangya sempit, para manajer hanya mempunyai sedikit
bawahan.
c.
Diferensiasi spasial.
Diferensiasi
spasial merujuk pada tingkat sejauh mana lokasi dari kantor, pabrik, dan
personel sebagai sebuah organisasi tersebar secara geografis. Diferensiasi
spasial dapat dilihat sebagai perluasan dari diferensiasi horizontal dan vertikal.
Artinya adalah mungkin untuk memisahkan tugas dan pusat kekuasaan secara
geografis. Pemisahan ini mencakup penyebaran jumlah maupun jarak.
Arti
Penting Kompleksitas Organisasi terdiri dari sub sistem yang membutuhkan
koordinasi, komunikasi, dan kontrol yang efektif. Maka makin kompleks sebuah
organisasi, makin besar kebutuhannya akan alat komunikasi, koordinasi, dan
kontrol yang efektif. Dengan kata lain, jika kompleksitas meningkat, maka akan
demikian juga halnya dengan tuntutan terhadap manajemen untuk memastikan bahwa
aktvitas-aktivitas yang dideferensiasi dan disebar bekerja dengan mulus dan
secara bersama kearah pencapaian tujuan organisasi. Arti kompleksitas bagi para
manajer adalah bahwa ia menciptakan permintaan dan kebutuhan yang berbeda-beda
dari waktu manajer. Makin tinggi kompleksitas, makin besar pula jumlah
perhatian yang harus mereka berikan untuk menghadapi masalah komunikasi,
koordinasi, dan kontrol.
2. Formalisasi
Formalisasi
merujuk pada tingkat sejauh mana pekerjaan di dalam organisasi itu
distandarisasikan, ukurannya adalah banyaknya aturan-aturan tertulis (written regulations) Jika formalisasi
rendah, perilaku para pegawai relatif tidak terprogram, karena kebijakan dari
seseorang di dalam pekerjaannya berbanding terbalik dengan jumlah perilaku yang
diprogramkan lebih dahulu oleh organisasi, maka makin besar standarisasi, makin sedikit
pula jumlah masukan mengenai bagaimana suatu pekerjaan(job desc) harus dilakukan oleh seorang pegawai.
Standarisasi
bukan hanya menghilangkan kemungkinan para pegawai untuk berperilaku secara
lain, tetapi juga menghilangkan kebutuhan bagi para pegawai untuk
mempertimbangkan aternatif.
Arti
penting formalisasi organisasi menggunakan formalisasi karena keuntungan
yang diperoleh dari pengaturan perilaku para pegawai. Standarisasi perilaku akan
mengurangi keanekaragaman dan juga mendorong koordinasi. Makin besar
formalisasi, makin sedikit pula kebijaksanaan yang diminta dari pemegang jabatan,
yang berarti penghematan. Hal ini relevan karena kebijaksanaan memerlukan
biaya.
Menurut
Robbins (1990:95-7), tujuan atau manfaat formalisasi adalah :
1.
Konsistensi dan
keseragaman, yaitu untuk mencapai output-output yang tidak berubah-ubah
kualitasnya. Hal ini penting bagi organisasi yang melakukan produksi massal.
2.
Meningkatkan koordinasi,
untuk tugas-tugas yang membutuhkan koordinasi tinggi di antara anggota organisasi, formalisasi merupakan
cara yang efektif dan biasa dipakai organisasi.
3.
Penghematan biaya secara
ekonomis, buku-buku manual pekerjaan di berbagai perusahaan besar biasanya dibuat untuk menghemat biaya. Jika perusahaan
tidak memliki manual, katakanlah di bidang akunting, maka perusahaan tersebut harus membayar jauh lebih mahal
tenaga kerja profesional yag akan menjalankan tugas itu. Sebab,tanpa adanya
manual dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dari pelaksana,
sehingga gaji dan fasiitas yang harus disediakan lebih besar. Namun dengan
prosedur-prosedur dan penjelaan terperinci dalam buku manual, perusahaan dapat
mempekerjakan seseorang yang lebih rendah kualifikasi teknis dan pendidikannya
untuk mengerjakan tugas yag sama.
Didalam
formalisasi memerlukan beberapa teknik dalam pelaksanaannya, diantaranya :
a. Seleksi (selection)
Organisasi
memilih pegawainya bukan secara acak, tetapi melalui sebuah rintangan yang
dirancang untuk membedakan para individu yang mungkin dapat berprestasi dengan
baik dan mereka yang mungkin tidak berhasil. Proses seleksi yang efektif
dirancang untuk menentukan apakah calon pekerja cocok bagi organisasi. Yang
dilakukan dalam proses seleksi adalah mencoba menghindari dipekerjakannya
orang-orang yang tidak cocok; yaitu para individu yang tidak dapat menerima
norma-norma organisasi.
Seleksi
harus diakui sebagai salah satu teknik yang paling banyak digunakan organisasi
untuk mengontrol kebijakan terhadap pegawainya. Apakah penerimaan pegawai
itu menyangkut pegawai yang tidak terampil atau yang professional, organisasi
menggunakan proses seleksi untuk menyaring orang yang tepat dan mengeluarkan
mereka yang berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang dianggap oleh
manajemen kurang baik. Seleksi untuk para professional dapat dilakukan dengan
kebebasan lebih besar daripada seleksi pegawai tidak terampil, karena
profesionalisasi dari para profesional mengurangi kebutuhan bagi organisasi
untuk mengidentifikasi orang-orang yang akan tidak berguna bagi organisasi.
Sebagian dari tugas ini telah dilakukan oleh universitas dan asosiasi yang
mengeluarkan ijazah dari para profesional tersebut. Tetapi, semua anggota baru harus
memenuhi persyaratan minimum dari organisasi mengenai pegawai yang dapat
diterima, dan proses seleksi tersebut merupakan salah satu mekanisme yang
populer untuk mencapai tujuan ini.
b. Persyaratan Peran / Jabatan
(role requirement)
Para
individu di dalam organisasi mempunyai peran. Setiap pekerjaan membawa serta
harapan mengenai bagaimana si pemegang peran seharusnya berperilaku. Analisis
tugas menetapkan pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi dan
menguraikan tentang perilaku pegawai yang dibutuhkan untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut.
c. Peraturan, Prosedur, dan
Kebijakan (rules, procedures, policies)
Peraturan
merupakan pernyataan eksplisit yang ditujukan kepada seorang pegawai tentang
apa yang harus atau tidak boleh dilakukan. Prosedur adalah rangkaian langkah
yang saling berhubungan satu sama lain secara sekuensial yang diikuti pegawai
dalam melaksanakan tugasnya. Kebijaksanaan adalah pedoman yang menetapkan
hambatan terhadap pengambilan keputusan yang dibuat oleh para pegawai. Masing-masing
merupakan teknik yang digunakan organisasi untuk mengatur perilaku para
anggotanya. Peraturan tidak memberi kesempatan kepada para pegawai untuk
membuat pertimbangan atau mengambil kebijakan-kebijakan. Peraturan menetapkan
pola perilaku tertentu dan spesifik yang disyaratkan.
Prosedur
ditetapkan untuk memastikan terjadinya standardisasi proses kerja. Suatu
masukan akan diproses dengan cara yang sama, keluarannya juga selalu sama
setiap hari. Jika kita bertanya kepada seorang pegawai bagian pembayaran apa
yang dikerjakannya, maka jawabannya kemungkinan besar akan sesuai deskripsi
yang telah dibuatkan prosedurnya mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan.
Kebijakan
memberikan kebebasan yang lebih besar dibandigkan peraturan. Kebijakan memberi
kesempatan kepada para pegawai untuk menggunakan keleluasaan yang terbatas dan
tidak menetapkan perilaku tertentu dan spesifik dari pegawai. Keleluasaan
tersebut diciptakan dengan memasukkan istilah-istilah yang menunjuk pada
pertimbangan-pertimbangan (seperti “yang terbaik”, “memuaskan”, dan
“bersaing”), yang diserahkan kepada pegawai untuk diinterpretasikan sendiri.
Kebijakan tidak harus tertulis untuk mengontrol keleluasaan.
d. Pelatihan (training)
Banyak
organisasi memberi pelatihan kepada pegawai dengan maksud untuk memasukkan
perilaku dan sikap pekerja yang diinginkan kepada para pegawai. Pegawai baru
kerap disyaratkan untuk mengikuti program orientasi agar terbiasa dengan
tujuan, sejarah, filsafat, dan peraturan organisasi, serta kebijakan personalia
yang relevan, misalnya jam kerja, prosedur pembayaran, persyaratan lembur dan
tunjangan lainnya. Pelatihan ada yang bersifat on the job training (misalnya pemagangan, pendampingan ( coaching), atau penugasan-penugasan yang
bersifat studi), adapula yang bersifat off
the job training (ceramah, demonstrasi, simulasi, atau instruksi
terpogram). Pelatihan juga sebagai sarana untuk mengajarkan dan menanamkan externalized behaviors kepada para anggota organisasi.
e. Ritual (rituals)
Ritual
digunakan sebagai teknik formalisasi terhadap para anggota yang diperkirakan
akan mempunyai dampak yang kuat dan lama terhadap organisasi. Yang pasti termasuk
dalam kelompok ini adalah para individu yang berambisi untuk menduduki posisi
manajemen tingkat senior dan mereka juga memutuskan untuk mencari status aktif
di dalam sebuah kelompok atau juga para pimpinan yang memilih untuk menjadikan
pekerjannya sebagai profesi.
Pada
proses ritual , tidak cukup bahwa sesorang memiliki kualifikasi teknis yang
dibutuhkan untuk suatu jabatan. Ia juga harus memenuhi standar-standar normatif
atau kepribadian yang sesuai untuk jabatan tersebut. Ancaman yang biasanya mendasari
ritual adalah bahwa para anggotanya harus membuktikan mereka dapat dipercaya
dan setia pada organisasi sebelum mereka dapat “dilantik”, sedangkan “proses
pembuktian” merupakan ritualnya.
3.
Sentralisasi
Sentralisasi
adalah yang paling problematis dari ketiga komponen. Sentralisasi dinyatakan
sebagai sejauh mana kekuasaan formal dapat membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan
dikonsentrasikan pada satu individu sebuah unit, atau suatu tingkat (biasanya
pada tingkat tinggi dalam organisasi). Dengan demikian pegawai (biasanya berada
di bagian bawah organisasi) hanya memperoleh masukan yang minim dalam pekerjaan
mereka.
Istilah
sentralisasi merujuk kepada tingkat dimana pengambilan keputusan
dikonsentrasikan pada suatu titik tunggal di dalam organisasi. Konsentrasi yang
tinggi menyatakan adanya spesialisasi yang tinggi, sedangkan konsentrasi yang
rendah menunjukkan adanya desentralisasi.
Menurut
Hatch (1997:168), kesulitan dalam mengukur tingkat sentralisasi adalah terletak
pada beragamnya jenis keputusan di dalam organisasi itu sendiri. Artinya, suatu
organisasi bisa bersifat sentralistis dalam satu hal, dan desentralistis dalam
hal lain. Suatu organisasi umumnya bersifat desentralis (work-related decision), tetapi cenderung sentralistis berkenaan
dengan keputusan-keputusan strategis. Akibatnya kita kadang-kadang kesulitan
menentukan tingkat sentralisasi yang sesungguhnya dalam sebuah organisasi.
Tingkat
kontrol yang dimiliki seseorang dalam seluruh proses pengambilan keputusan
dapat digunakan sebagai sebuah ukuran mengenai sentralisasi. Kelima langkah
dalam proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan informasi
untuk diteruskan kepada pengambil keputusan mengenai apa yang dapat dilakukan.
2.
Memproses dan
menginterpretasikan informasi tersebut untuk memberi saran kepada pembuat
keputusan mengenai apa yang harus dilakukan.
3.
Membuat pilihan mengenai
apa yang hendak dilakukan
4.
Memberi wewenang kepada
orang lain mengenai apa yang hendak dilakukan
5.
Melaksanakan apa yang harus
dilakukan.
Dalam
beberapa organisasi, manajer puncak mengambil semua keputusan.Manajer tingkat
lebih bawah semata-mata hanya melaksanakan petunjuk-petunjuk manajer puncak.
Pada keadaan yang lain organisasi dimana pengambilan keputusan ditekan dibawah.
Ada
kecenderungan bahwa sentralisasi menurun bersama dengan membesarnya ukuran
organisasi. Sebab-sebab mengapa organisasi yag besar membutuhkan
desentralisasi, menrut Robbins (1990: 111), adalah sebagai berikut :
1.
Kapasitas pengolahan
informasi manusia terbatas
2.
Organisasi membutuhkan
respon cepat
3.
Keputusan dapat diambil
dengan informasi yang lebih rinci dan lengkap
4.
Motivasi pekerja dapat
ditingkatkan dengan desentralisasi
5.
Desentralisasi memberikan
ruang pembelajaran
Berkaitan
dengan hubungan antara ukuran organisasi dan sentralisasi,
penelitian-penelitian organisasi pada umumnya belum memberikan kesimplan yang
eksak. Menurut Robbins (1990: 160), kita baru memilki kesimpulan yang pasti
tentang hubungan ukuran organisasi dan formalisasi. Namun dari kesimpulan ini,
menurut Robbins, kita bisa menarik sebuah logika: Aturan-atran dan prosedur
formal memungkinkan pengelola organisasi untk mendelegasikan pengambilan
keputusan sekaligus memastikan bahwa
keputusan-keputusan yang diambil sejalan dengan keinginan pengelola organisasi.
Dengan perkataan lain, ukuran organisasi akan meningkatkan desentralisasi,
sejalan dengan meningkatnya formalisasi.
Kelebihan sentralisasi :
a. Lebih mudah untuk menerapkan
kebijakan umum dan praktek untuk bisnis secara keseluruhan.
b. Mencegah bagian lain dari
bisnis menjadi terlalu mandiri.
c. Lebih mudah untuk
mengkoordinasikan dan mengendalikan dari pusat.
d. Lebih cepat pengambilan
keputusan lebih mudah untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat.
Kelemahan Sentralisasi :
a. Manajer lokal cenderung jauh
lebih dekat dengan kebutuhan pelanggan.
b. Kurangnya otoritas turun
hirarki mungkin mengurangi motivasi manajer.
c. Layanan pelanggan tidak
mendapat manfaat dari fleksibilitas dan kecepatan dalam pengambilan
keputusan lokal.
Kelebihan Desentralisasi :
a.
Harus meningkatkan motivasi staff
b.
Keputusan yang dibuat lebih dekat dengan pelanggan
c.
Konsisten dengan bertujuan untuk menyanjung hirarki
d.
Cara yang baik untuk melatih dan mengembangkan manajemen junior
Kekurangan Desentralisasi :
a. Pengambilan keputusan tidak
selalu strategis
b. Sulit untuk mencapai kontrol
keuangan yang ketat atau risiko biaya
B.
Studi kasus
1.1. Latar Belakang Masalah
Beralihnya sistem pemerintahan dari
sentralisasi menjadi desentralisasi, menuntut pembangunan yang merata di setiap
daerah, sehingga pembangunan yang tadinya dilaksanakan secara terpusat
diberikan kepada daerah untuk mengaturnya.
Kebijakan pemerintah di bidang otonomi
daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk menata ulang hubungan antara pusat dan
daerah dalam berbagai segi yang menyangkut urusan penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa: “Otonomi diberikan pada
daerah secara luas untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat”.
Disisi lain masyarakat mulai
mempertanyakan atas nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang diberikan
oleh instansi pemerintah. Walaupun anggaran yang dikeluarkan pemerintah
meningkat dari tahun ke tahun, nampaknya masyarakat belum puas atas kinerja
yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam menjalankan tugas (fungsi) otonomi
daerah, pemerintah daerah otonom melaksanakan:
(1) Pemerintahan daerah secara efektif dan
efisien,
(2) Pembangunan daerah yang merata ke
seluruh bagian wilayah, dan
(3) Memberikan pelayanan kepada masyarakat (publik) secara tepat,
cepat, murah dan bermutu. (Rahardjo
Adisasmita, 2011: 35)
Melaksanakan sistem pemerintahan yang
efektif dan efisien, dimaksudkan melaksanakan kinerja secara baik dan benar
sehingga terwujudnya good governance. Kinerja suatu organisasi dinilai
baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan tugas-tugas dalam
rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi dengan
biaya yang rendah. Secara teknis, kinerja yang baik bagi suatu organisasi
dicapai ketika administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang
bersangkutan dilakukan pada tingkat yang ekonomi, efisien, dan efektif.
Konsep ekonomi, efisien dan efektivitas
saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dimaknai secara terpisah atau
sendiri-sendiri. Konsep ekonomi memastikan bahwa biaya input yang digunakan
dalam operasionalisasi organisasi dapat diminimalkan. Konsep efisien memastikan
bahwa output yang maksimal dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia.
Konsep efektif berarti bahwa jasa yang disediakan/dihasilkan oleh organisasi
dapat melayani kebutuhan pengguna jasa dengan tepat. (Mardiasmo, 2009: 180)
Adapun kasus ketidakhematan yang terjadi
di pemerintahan antara lain meliputi pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan,
penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang tidak sesuai standar, dan
pemborosan keuangan daerah atau kemahalan harga. Kasus ketidakefisienan yang
terjadi yaitu penggunaan kuantitas input untuk satuan output lebih besar/tinggi
dari yang seharusnya, serta kasus ketidakefektifan yaitu
penggunaan anggaran tidak tepat sasaran/tidak sesuai peruntukan. Dari hasil
laporan BPK RI semester 1 tahun 2013, terhadap 415 LKPD Tahun 2012, BPK
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 113 entitas (termasuk 41
entitas dengan opini wajar tanpa pengeualian dengan paragraf penjelas
(WTP-DPP)), opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 267 entitas, opini Tidak
Wajar (TW) atas 4 entitas dan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atas 31
entitas.
Dilihat dari hasil laporan tersebut, masih banyak
pemerintah daerah yang diberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Dari
hasil laporan BPK tahun 2009-2012, salah satu pemerintah daerah yang dari tahun
ke tahun mendapatkan opini WDP adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung. Adapun
jumlah dan nilai temuan serta Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan
(TLRHP) pemerintah daerah kabupaten bandung adalah sebagai berikut:
Dari daftar tabel diatas, pada tahun 2013
terdapat temuan pada pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebanyak 173 senilai
1.167.767,18 juta rupiah dan mendapatkan rekomendasi sebanyak 409 dengan nilai
15.487,35 juta rupiah. Namun hasil dari rekomendasi yang telah ditindaklanjuti
dengan penyetoran/penyerahan aset ke negara/daerah atau perusahaan
negara/daerah, baru sebesar 10.856,95 juta rupiah.
Dalam melaksanakan kinerjanya, pemerintah
daerah harus mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat kelompok
temuan atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan berdasarkan
pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten bandung adalah sebagai
berikut:
Dari hasil pemeriksaan atas LKPD Kabupaten Bandung tahun 2012
mengungkapkan 16 kasus senilai 2.241,03 juta rupiah sebagai akibat adanya
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Dari total temuan
pemeriksaan atas LKPD tersebut, sebanyak 8 kasus merupakan temuan yang
berdampak finansial yaitu temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah dan kekurangan penerimaan
senilai 2.085,88 juta rupiah. Adapun sisanya merupakan temuan penyimpangan
administrasi, dan ketidakhematan sebanyak 8 kasus senilai 155,15 juta rupiah.
Selain itu, adapula kasus penggelapan dana
pada pemerintahan kabupaten bandung seperti kegiatan pemuktahiran data
kependudukan di tingkat RT dan RW se-Kabupaten Bandung sebesar Rp 1 miliar
lebih yang dilakukan oknum pegawai Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil
(Dinsosdukcasip) Kabupaten Bandung. Lebih lanjut ditegaskan, terjadinya kasus
korupsi yang dilakukan PNS itu merupakan pertanda lemahnya pengawasan yang
dilakukan pimpinan internal eksekutif.
Untuk mencegah temuan dan kasus atas
kinerja pemerintah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, maka perlu adanya
pengawasan secara internal pada entitas tersebut. Dalam Inpres Nomor 4 Tahun
2011, Pemerintah Kabupaten Bandung diinstruksikan untuk meningkatkan
akuntabilitas keuangan negara/daerah, mengefektifkan pengawasan intern,
mempercepat penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), dan
mengintensifkan peran APIP/Inspektorat. Menurut Tahria (Kepala
BPKP Jawa Barat), dana yang dikelola pemerintah kabupaten Bandung cukup besar
(2 Trilliunan), sehingga diperlukan pengelolaan yang lebih baik lagi agar
jangan sampai terjadi anggapan bahwa sistem pengendalian intern masih lemah.
Hal ini dapat dilihat juga dari Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bandung
yang masih dalam opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) belum Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
mengenai Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah perlu mengadakan suatu Pengawasan Intern atas penyelenggaraan pemerintah
daerah. Pengawasan intern dilakukan sebagai upaya menunjang dan memperrkuat
efektivitas pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Pengawasan Intern ini dibedakan atas pengawasan yang bersifat akuntansi dan
administratif.
Pengawasan akuntansi meliputi rencana organisasi dan
semua cara dan prosedur yang terutama menyangkut dan berhubungan langsung
dengan pengamanan harta benda dan dapat dipercayainya catatan keuangan
(pembukuan). Sedangkan Pengawasan administratif meliputi rencana organisasi dan
semua cara dan prosedur yang terutama menyangkut efisiensi usaha dan ketaatan
terhadap kebijaksanaan pimpinan perusahaan dan pada umumnya tidak langsung
berhubungan dengan pembukuan (akuntansi). Guna menanggulangi kemungkinan
terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan daerah, maka perlu adanya
pengawasan untuk memperkecil timbulnyapenyimpangan tersebut.
Pengawasan Intern berarti pendayagunaan aparatur
Negara dalam memberantas adanya unsur kecurangan atau penyelewengan dengan
diadakannya pengawasan intern dalam rangka mengawasi kinerja pengelolaan
pemerintah daerah sehingga tercipta good governance.
Pengawasan yang dimaksud disini adalah pengawasan yang
dilakukan oleh aparat pengawas secara intern yang dilaksanakan terhadap
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana
dan kebijakan yang berlaku. Pengawasan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
tercapainya efektifitas dan efisiensi dari kegiatan operasional, keandalan
Laporan Keuangan di sektor pemerintahan, serta ketaatan dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku.
Pengawasan intern di Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung
dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Bandung yang merupakan aparat pengawasan
intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati Kabupaten
Bandung. Fungsi dari Inspektorat adalah melakukan pengawasan terhadap seluruh
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sebagaimana
dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pasal 47 ayat (1) harus
dilakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan
SPIP oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pada pasal 48 ayat (2) aparat
pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui audit,
engawasan intern melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan
pengawasan lainnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu dari Almanda
Primadona (2013), bahwa tingkat pengawasan intern terhadap pegawai pada
Pemerintah Kota Bandung sudah baik dan berpengaruh terhadap kinerja para
pegawainya karena selalu dimonitor dan dikontrol oleh pimpinannya. Selain itu,
Rina Tresnawati (2012) menyatakan bahwa pengendalian internal mempunyai
pengaruh positif terhadap kinerja pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
antara lain objek penelitian dilakukan pada pemerintah daerah Kabupaten
Bandung. Populasi penelitian tidak hanya terpaku pada Dinas, penelitian
ditujukan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diawasi kinerjanya oleh
inspektorat dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dari
latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka perlu adanya pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan pemerintah agar dapat tercapainya pembangunan yang efektif,
efisien, dan ekonomi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Pengaruh Pengawasan Intern Pemerintah Terhadap Kinerja
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah”.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana
pengawasan intern pada pemerintah daerah?
b. Bagaimana
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah?
c. Bagaimana
pengaruh pengawasan intern pemerintah terhadap kinerja pengelolaan keuangan
pemerintah daerah?
1.3.
Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1.
Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
data dan informasi mengenai pengaruh pengawasan intern pemerintah terhadap
kinerja pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat
serta investor terhadap kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah serta
terwujudnya good governance.
1.3.2.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada rumusan masalah, maka maksud
dan tujuan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui pengawasan intern pada pemerintah daerah
b. Untuk
mengetahui kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
c. Untuk
mengetahui pengaruh pengawasan intern pemerintah terhadap kinerja pengelolaan
keuangan pemerintah daerah.
1.4.
Kegunaan Penelitian
1.4.1.
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam Ilmu Akuntansi
Pemerintahan
1.4.2.
Kegunaan Praktis
Bagi Pemerintah Daerah penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi supaya dapat meningkatkan keyakinan masyarakat serta
investor terhadap pemerintah daerah dengan adanya pengawasan intern pemerintah
terhadap kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang dilakukan guna
mewujudkan good governance di Indonesia
Bab
3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Elemen
utama struktur organisasi adalah kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi.
Kompleksitas terdiri dari diferensiasi horizontal, diferensiasi vertikal, dan
diferensiasi spasial.
Penyebab
terjadinya diferensiasi horizontal adalah berkembangnya beragam unit dalam
organisasi berdasarkan orientasi pekerjaan, sifat tugas-tugas didalamnya, serta
latar pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut. Diferensiasi horizontal melahirkan spesialisasi dan departementasi.
Spesialisai merujuk pada pengelompokkan aktivitas tertentu yang dilakukan
seorang individu dalam organisasi. Entuknya adadua macam: spesialisasi
fungsional dan spesialisasi social. Departementasi merujuk pada pengelompokan
berdasarkan spesialisasi-spesialisasi yang ada dalam sebuah organisasi, baik
spesialisasi fungsional maupun social. Pembagian departemen- departemen dalam
organisasi dapat dilakukan berdasarkan jumlah orang, fungsi, produk, atau jasa,
klien, geografis, atau proses.
Diferensiasi
vertikal adalah gambaran lapisan-lapisan hierarki dalam organisasi. Organisasi
dalam jumlah anggota yang sama tidak mesti memiliki diferensiasi vertikal yang
sama. Faktor yang menentukan adalah rentang kendali ( span of control). Rentang kendali menunjukan tentang berapa orang
dikendalikan atau berada di bawah pengawasan seorang supervisor atau manajer.
Diferensiasi
spasial menggambarkan sejauh mana fasilitas dan personel organisasi tersebar
secara geografis. Masalah diferensiasi spasial ini makin penting
dipertimbangkan oleh pengelola organisasi dewasa ini, mengingat kecenderungan
globalisasi pasar untuk berekspansi ke wilayah-wilayah baru yang sebelumnya
tidak menjadi wilayah operasional organisasi.
Formalisasi
adalah menyangkut jumlah atau banyaknya aturan tertulis (written rules) dalam suatu organisasi. Formalisasi dalam organisasi
dapat dilakukan dengan dua pola: (1) melalui aturan, prosedur, dan
sanksi-sanksi regulatif yang disusun oleh pengelola organisasi atau (2) melalui
rekrutmen terhadap tenaga-tenaga profesional yang telah terdidik dengan
nilai-nilai, norma, dan pola perilaku sesuai profesi mereka.
Sentralisasi
didefinisikan sebagai sajauh mana otoritas formal untuk memuat pilihan-pilihan
bebas terkonsentrasi pada seseorang, sebuah unit, atau suatu lvel (biasanya
berposisi tinggi dalam organisasi), sedimikian rupa sehingga para pegawai (biasanya berposisi rendah dalam
organisasi) hanya dimungkinkan memberikan input yang seminimal mungkin dalam pekerjaan.
Sentralisasi diukur melalui partisipasi anggota dalam tahap-tahap pengambilan
keputusan. Alternatif lain ukuran sentralisasi adalah: (1) proporsi
pekerjaan-pekerjaan dimana para pelaksananya berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan jumlah areal atau bidang dimana mereka berpartisipasi; (2) indeks
pengukuran yang menetapkan di mana pusat (locus)
pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan besar maupun
spesifik; (3) tingkat sharing informasi diantara unit-unit, dan derajat partisipasi
dalam perencanaan jangka panjang.
Daftar Pustaka
Robbins, P. Stephen. 1994. Teori Organisasi, Struktur, Desain dan
Aplikasi. Edisi Ketiga. Jakarta:
Arcan.
Kusdi. 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Zainal, Rivai Veithzal dkk. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi
Keempat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hatch, M. J. 1997. Organization Theory: Modern, Symbolic, and Post-modern Perspective.
Oxford: Oxford Univ. Press.
BUDIAWAN
ReplyDelete19 111 140
KLS:1VC