BUDAYA ORGANISASI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah 
Sebuah organisasi mempunyai budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada yang sesuai dengan anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang anggota baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut harus dapat menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat membuat suatu organisasi menjadi terkenal dan bertahan lama. Yang jadi masalah tidak semua budaya organisasi dapat menjadi pendukung organisasi itu. Ada budaya organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Maksudnya tidak dapat menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih ditakutkan lagi organisasi itu tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan perkembangan zaman karena dia merasa paling benar. 
Dalam keadaan inilah anggota tidak akan mendapatkan kepuasan kerja. Memang banyak faktor lain yang menyebabkan anggota tidak memperoleh kepuasan kerja, tapi faktor budaya organisasi merupakan faktor yang utama.
Meski telah disadari bahwa budaya organisasi bersifat dinamik dan pluralistic, perdebatan tentang apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan masih terjadi. Pandangan pertama yang diwakili oleh Gagliardi menyatakan bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa budaya organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam diri setiap orang pada dataran yang paling mendasar (alam bawah sadar), sehingga untuk merubah budaya organisasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana alam bawah sadar terbentuk dan berfungsi serta memungkinkan akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. 
Pandangan kedua menyatakan bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa perubahan budaya organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat yang mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan budaya organisasi. Sementara ada pandangan yang lebih moderat dalam mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi ?
2.      Bagaimana asal muasal budaya organisasi ?
3.      Apa saja karakteristik budaya organisasi ?
4.      Bagaimanakah menciptakan budaya organisasi yang etis ?
C. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian budaya organisasi.
2.      Menjelaskan asal muasal budaya organisasi.
3.      Mengetahui karakteristik budaya organisasi.
4.      Mengetahui bagaimana menciptakan budaya organisasi yang etis.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep mata kuliah Interpersonal Employee Relation khususnya materi “Budaya Organisasi” dan secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1.      Penulis, sebagai wahana meningkatkan pengetahuan dan konsep keilmuan, khususnya tentang materi Budaya Organisasi.
2.      Pembaca, sebagai media informasi mata kuliah Interpersonal Relationkhususnya mengenai Budaya Organisasi.
E. Metode Penulisan
                  Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis menguraikan permasalahan yang dibahas secara explanation atau penjelasan yang komperhensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui media pustaka dalam penyusunan makalah ini dan ditambah referensi dari media internet. Penulis mencantumkan berbagai sumber untuk penulisan makalah ini, selain itu juga penulis menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan data yang mendukung penyusunan makalah.



BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Budaya Organisasi
Pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi sangat signifikan. Karena itu menciptakan budaya organisasi yang sifatnya unik untuk setiap organisasi amatlah penting. Untuk itu perlu dipahami apa budaya organisasi itu.
Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Walter R. Freytag mendefinisikan budaya organisasi sebagai “a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds organizational members together and prescribes appropriate patters of behavior.” Freytag menitik beratkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi.[1] Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations that organize and integrate a group of people who work together.” Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama. 
Menurut Lathans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sarplin (1995) mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu system nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur system formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.
            Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu, dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi dan menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkanaan dengan masalah-masalah tersebut.[2]
Menurut Mondy dan Noe (1996), budaya organisasi adalah system dari shared values,[3] keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar- standar yang mengarahkan perilaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Sedangkan Hodge, Anthony dan Gales (1996) mendefinisikan budaya organisasi (corporate culture) sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sedangkan pada level unobservable budaya organisasi mencakup shared values, norma-norma, asumsi-asumsi, kepercayaan para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan disekitarnya.
Budaya perusahaan juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, megarahkan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, serta bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya perusahaan, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan. 
Dari sejumlah pengertian diatas, tampak bahwa budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi, khususnya kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal. 
Menurut Susanto, “Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman sember daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertingkah laku atau berperilaku.”
Menurut Robbins, Budaya organisasi adalah suatu system makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan yang lain.[4] Menurut Gareth R. Jones, “Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, suatu system dari makna bersama.” Jadi budaya organisasi itu adalah suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi.

B. Asal Muasal Budaya Organisasi
Kebiasaantradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atauideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri. Dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.

C. Karakteristik Budaya Organisasi
Adanya budaya organisasi sesungguhnya tumbuh karna diciptakan dan dikembangkan oleh individu-individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan dapat dianggap sebagai Ciri khas yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya.
Antonius dan Antonina mengatakan mengenai karakteristik dan dimensi nilai yang terkandung dalam budaya organisasi yaitu :
a.       Orientasi Hasil. 
b.      Orientasi Orang. 
c.       Orientasi Tim.
d.      Keagresifan.
e.       Kemantapan/stabilitas,
f.        Inovasi dan keberanian mengambil resiko. 
g.      Perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
Dalam teori diatas dijelaskan bahwa sebuah organisasi dapat memiliki karakteristik yang terkandung dalam budaya organisasinya. Sejauh mana organisasi berfokus kepada hasil, dan bukan hanya pada proses, melihat sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada individu di dalam organisasi itu. Kemudian sejauh mana kegiatan kerja di organisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu, melihat sejauh mana karyawan itu agresif dan kompetitif, bukannya santai-santai, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo[5] sebagai kontras dari pertumbuhan, lalu sejauh mana karyawan berani berinovasi dan menghadapi resiko pekerjaan. Sampai pada akhirnya sejauh mana karyawan mencermati pekerjaan lebih presisi dan memfokuskan pada hal-hal yang lebih rinci.
Diperkuat dengan pendapat Robbins dan Judge bahwa Kultur Organisasi mengacu kepada sebuah system makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. System makna bersama ini, bila dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat kultur organisasi.
1.      Innovation and Risk Taking (Inovasi dan pengambilan resiko), suatu tingkatan dimana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2.      Attention to Detail (Perhatian pada hal-hal detail), dimana pekerja diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal detail.
3.      Outcome Orientation (Orientasi pada manfaat), dimana menajemen memfokus pada hasil atau manfaat daripada sekadar pada teknik dan proses yang dipergunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut.
4.      People Orientation (Orientasi pada orang), di mana keputusan manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang dalam organisasi.
5.      Team Orientation (Orientasi pada tim), dimana aktivitas kerja di organisasi berdasar tim daripada individual.
6.      Aggresiveness (Agresivitas), dimana orang cenderung lebih agresif dan kompetitif daripada easygoing.
7.      Stability (Stabilitas), dimana aktivitas organisasional menekankan pada menjaga status quo sebagai lawan dari perkembangan.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik budaya organisasi, yaitu inovasi dan pengambilan resiko, perhatian pada detail, orientasi hasil, orientasi kepada para individu, orientasi kepada tim, keagresifan, serta stabilitas.

D. Menciptakan Budaya Organisasi yang Etis 
Isu dan kekuatan suatu kultur mempengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain juga hasil. Para manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk mengambil resiko dan berani berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang tak terkendali, dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan juga pada tujuan apa yang akan dicapai.
Manajemen yang dapat dilakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis dapat dilakukan dengan praktik-praktik:
1.      Menjadi model peran yang visibel. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua karyawan.
2.      Mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan akan dipatuhi para karyawan.
3.      Memberikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar. Lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.
4.      Secara nyata memberikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menurut kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang dipakai untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang bertindak etis harus diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama pentingnya, tindakan tidak etis harus diganjar secara terbuka/nyata.
5.      Memberikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etika dan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.
E. Inovasi Dalam Organisasi
   Inovasi merupakan konsep yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Tren dari keberhasilan pada masa sekarang merupakan indikasi dari terwujudnya dampak inovasi. Inovasi banyak memberikan dampak terhadap kondisi organisasi maupun kreatifitas dimana inovasi berasal, baik perorangan maupun organisasi. Dinamika perubahan lingkungan yang begitu cepat yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut sumber daya manusia yang berkualitas dan selalu belajar.
Inovasi merupakan upaya mempertahankan keberadaan organisasi dalam lingkungan. Inovasi dalam suatu organisasi menjadi hal yang penting dilakukan untuk membawa organisasi menjadi lebih baik dalam pencapaian tujuan dan tepat sasaran secara efektif dan efisien. Adanya inovasi organisasi diharapkan dapat menanggapi kompleksitas lingkungan dan dinamisasi perubahan lingkungan, terutama dalam persaingan yang ketat dan menciptakan sumber-sumber bagi keunggulan bersaing.
1. Pengertian Inovasi dalam Organisasi
Sebelum kita bahas mengenai pengertian inovasi dalam organisasi, sebelumnya kita akan menjelaskan pengertian organisasi itu sendiri. Organisasi menurut pendapat Rogers adalah suatu sistem yang stabil, yang merupakan perwujudan kerjasama antara individu-individu, untuk mencapai tujuan bersama, dengan mengadakan jenjang dan pembagian tugas tertentu. (Ibrahim, 1988 : 129). Orang membuat organisasi agar dapat mengerjakan tugas rutin dalam keadaan stabil (mantap). 
Adapun syarat-syarat organisasi adalah sebagai berikut : 
a.       Memiliki tujuan yang dirumuskan dengan jelas. Dengan rumusan tujuan yang jelas, akan mempermudah untuk menentukan struktur dan fungsi organisasi tersebut. 
b.      Memiliki pembagian tugas yang jelas. Suatu organisasi pasti terdiri dari beberapa posisi yang semuanya mempunyai tanggungjawab dan tugas yang jelas. Meski memungkinkan adanya pergantian orang dalam suatu organisasi, namun tugas dan fungsi masing-masing posisi itu tidak berubah dan tetap pada tujuan organisasi. 
c.       Memiliki kejelasan struktur otoritas (kewenangan). Tidak semua posisi dalam organisasi memiliki kewenangan yang sama. Dan dalam pengaturan kewenangannya diperjelas tentang pertanggung jawaban setiap posisi. 
d.      Memiliki aturan dasar/umum (tujuan, syarat susunan pengurus dll.) dan aturan khusus (perincian kegiatan, cara pembentukan pengurus dll.) atau biasa disebut dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
e.       Pola hubungan informal.
                 Sedangkan pengertian inovasi itu sendiri adalah suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invention maupun diskoveri (Udin Syaefudin, 2010 : 3). Dengan melihat secara singkat apa pengertian organisasi dan pengertian inovasi, maka kita dapat memperoleh gambaran bahwa di dalam sebuah organisasi juga memungkinkan terjadinya sebuah inovasi. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa inovasi dalam organisasi adalah sesuatu hal yang baru yang berupa apapun yang terjadi di dalam sebuah organisasi formal maupun organisasi informal. Inovasi yang terjadi dalam sebuah organisasi merupakan proses kemajuan organisasi tersebut, namun berbagai hambatan dan rintangan akan terjadi saat inovasi itu mulai memasuki organisasi. Dengan memahami proses inovasi dalam organisasi setidaknya akan dapat mengurangi kegoncangan organisasi dalam melaksanakan difusi inovasi.
2. Kepekaan Organisasi Terhadap Inovasi
Kepekaan disini berarti berhubungan dengan sejauh mana organisasi itu peka terhadap inovasi (lebih cepat menerima inovasi). Ada beberapa variabel yang mempengaruhi kepekaasn organisasi terhadap inovasi, yaitu : 
1.      Ukuran suatu organisasi. Makin besar ukuran suatu organisasi makin cepat menerima inovasi.
2.      Karakteristik struktur organisasi, yang mencakup ;
3.      Sentralisasi. Kewenangan dan kekuasaan dalam organisasi dikendalikan oleh beberapa orang tertentu. Hal ini mempunyai hubungan negatif terhadap kepekaan organisasi.
4.      Kompleksitas. Artinya suatu organisasi terdiri dari orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang tinggi. Hal ini mempunyai hubungan positif terhadap kepekaan organisasi.
5.      Formalitas. Artinya organisasi ini selalu menekankan pada prosedur dan aturan-aturan baku dalam berogranisasi. Hal ini mempunyai hubungan negatif terhadap kepekaan organisasi.
6.      Keakraban hubungan antar anggota. Hal ini juga jelas mempunyai hubungan positif terhadap kepekaan organisasi.
7.      Kelenturan organisasi. Artinya sejauh mana organisasi mau menerima sumber dari luar yang tidak ada kaitannya secara formal. Hal ini mempunyai hubungan positif terhadap kepekaan organisasi.
8.      Karakteristik perorangan (pemimpin). Ketika seorang pemimpin memiliki sikap yang terbuka terhadap inovasi maka semakin cepat organisasi itu menerima inovasi.
9.      Karakteristik eksternal organisasi. Hal ini berkaitan dengan sistem yang di anut oleh organisasi. Apabila organisasi tersebut menganut sistem terbuka dalam arti mau menerima pengaruh dari luar sistem, maka organisasi tersebut akan cepat menerima inovasi.

            Selain itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi organisasi dalam mengimplementasikan sebuah inovasi :

      a. Life Cycle
            Seperti halnya manusia, suatu organisasi juga mengalami siklus hidup dengan berbagai tingkatan dan perkembangan (Sperry, Mickelson, dan Hunsaker, 1977). Tingkat perkembangan organisasi pada saat inovasi diajukan akan mempengaruhi nilai perubahan organisasi.
b. Culture
            Semua organisasi memiliki budaya masing-masing. Kebudayaan yang ada akan mempengaruhi bagaimana penerimaan terhadap inovasi. Walaupun terkadang tidak selalu inovasi dan kebudayaan yang ada pada organisasi cocok. 
c. Strategic Plan
            Salah satu aspek yang mendukung implementasi inovasi adalah adanya rencana strategis organisasi. Ketika inovasi selaras dengan rencana strategi organisasi, maka pelaksana inovasi mempunyai tambahan argument kuat untuk mendapatkan dukungan manajemen dan meyakinkan kelompok user
d. External Conditions
            Akan selalu ada kondisi eksternal yang mempengaruhi organisasi. Hal –hal semacam ini harus juga dipertimbangkan ketika mengaplikasikan sebuah inovasi. Karena hal tersebut akan memberikan pengaruh yang signifikan secara tidak langsung terhadap jalannya inovasi dan organisasi.

3. Keputusan Inovasi Dalam Organisasi
Pengambilan keputusan dalam suatu organisasi sangat penting karena menyangkut masa depan organisasi, apakah keputusan itu membawa keberhasilan ataukah kegagalan dikarenakan kesalahan dalam mengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan inovasi, metode ataupun cara yang dilakukan tidaklah sama dengan langkah-langkah pengambilan keputusan biasa dimana resiko sudah diketahui, maka perbedaannya disini adalah bahwa pengambilan keputusan inovasi itu dimulai dengan adanya serba tak tentu (uncertainty).
Dalam organisasi, hal-hal atau faktor yang merangsang adanya inovasi ialah terjadinya performance gaps (kesenjangan penampilan) yaitu kondisi dimana adanya perbedaan antara apa yang ditampilkan dengan apa yang seharusnya dilakukan ketika keputusan diambil. Dalam hal ini bisa saja berbentuk macam-macam masalah organisasi.



4. Tipe-tipe pengambilan keputusan inovasi dalam organisasi
Ada dua tipe pengambilan keputusan inovasi yang sering digunakan dalam organisasi, perbedaannya adalah sejauh mana anggota organisasi dapat ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, kedua tipe itu ialah :
            1. Keputusan Otoritas
            Keputusan otoritas dibuat oleh seorang atau sekelompok kecil orang-orang yang sering disebut juga sebagai “kelompok dominan” dalam suatu organisasi. Dalam hal ini keputusan untuk menolak atau menerima inovasi dipaksakan kepada anggota organisasi oleh para petinggi organisasi. Ada dua macam keputusan otoritas yang sering dgunakan dalam organisasi formal yaitu :
·         Keputusan otoritas dengan partisipasi anggota organisasi (pendekatan partisipatif).
·         Keputusan otoritas tanpa partisipasi anggota organisasi (pendekatan otoritatif).
            Rogers dan Soemaker (1971) membuat hipotesa bahwa kecepatan penerimaan inovasi lebih cepat dengan menggunakan pendekatan otoritatif. Zaltman, Duncan dan  Holbek (1973) mengemukakan bahwa perubahan yang disebarkan dengan menggunakan pendekatan otoritatif banyak yang tidak berkelanjutan daripada perubahan yang disebarkan menggunakan pendekatan partisipatif. Keputusan otoritas biasanya dipandang lebih efisien karena urutan pentahapan proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat.
2. Keputusan Kolektif
Rogers dan Soemaker (1971) mendefinisikan keputusan kolektif sebagai suatu cara yang digunakan para anggota sistem sosial untuk menerima atau menolak inovasi dengan kesepakatan bersama dan semua anggota harus menerima keputusan yang telah dibuat bersama tersebut. Keputusan kolektif biasanya digunakan oleh organisasi yang dibentuk secara suka rela, misalnya organisasi kesenian atau olahraga. Menurut Schein, ada dua hal yang menghambat dilaksanakannya pengambilan keputusan, yaitu : 
§  Anggota minoritas sering merasa tidak cukup waktu pada saat mendiskusikan hal yang diputuskan itu, sehingga mereka belum memahami secara mendalam.
§  Kelompok minoritas menganggap bahwa dalam pemungutan suara itu terjadi dua kelompok yang bersaing, saat ini mereka kalah dan mereka akan menunggu kesempatan untuk berjuang mendapatkan kemenangan pada pemungutan suara di waktu yang akan datang.
                  Tipe keputusan kolektif dapat memberikan fasilitas proses inovasi dalam beberapa cara, antara lain:
§  Terjadi mekanisme umpan balik secara internal.
§  Setiap anggota mendapat kesempatan untuk dapat memahami akan kebutuhan inovasi.
§  Memberikan kemungkinan lancarnya pelaksanaan implementasi.
§  Meningkatnya kerja sama antar anggota dalam proses keputusan inovasi juga akan mempengaruhi kelancaran implementasi.

Proses keputusan inovasi secara kolektif sangat tepat digunakan dan akan efektif apabila partisipan (anggota organisasi) merasa bahwa :
·         Inovasi ditempatnya bekerja relevan dengan keperluannya.
·         Mereka memiliki kemampuan untuk memulai dan menerapkan inovasi.
·         Mereka mempunyai kewenangan untuk menggunakan inovasi.
·         Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka kombinasi antara tipe keputusan kolektif dan otoritas lebih tepat digunakan.

5. Proses Inovasi dalam Organisasi
Proses inovasi adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh individu atau organisasi, mulai sadar atau tahu adanya inovasi sampai menerapkan (implementasi) inovasi. Kata proses mengandung arti bahwa aktivitas itu dilakukan dengan memakan waktu dan setiap saat tentu terjadi perubahan. Berapa lama waktu yang dipergunakan selama proses itu berlangsung akan berbeda antara orang satu atau organisasi satu dengan yang lain tergantung kepada kepekan orang atau organisasi terhadap inovasi. 
Demikian pula selama proses inovasi itu berlangsung akan selalu terjadi perubahan yang berkesinambungan sampai proses itu dinyatakan berakhir. 
Dalam mempelajari proses inovasi para ahli mencoba mengidentifikasi kegiatan apa saja yang dilakukan individu selama proses itu berlangsung serta perubahan apa saja yang terjadi dalam inovasi, maka hasilnya diketemukan pentahapan proses inovasi. Untuk memperluas wawasan tentang pentahapan proses inovasi, berikut akan kami tunjukan berbagai model pentahapan dalam proses inovasi yang berorientasi pada organisasi.
Beberapa model proses inovasi yang berorientasi pada organisasi
1. Milo (1971)
a.       Konseptualisasi 
b.      Tentatif Adopsi 
c.       Penerimaan Sumber 
d.      Implementasi 
e.       Institualisasi
2. Shepard (1967) 
a.       Penemu ide 
b.      Adopsi 
c.       Implementasi 
3. Hage & Aiken (1970) 
a.       Evaluasi 
b.      Inisiasi 
c.       Implementasi 
d.      Routinisasi 
4. Wilson (1966) 
a.       Konsepsi perubahan 
b.      Pengusulan perubahan 
c.       Adopsi dan Implementasi 
5. Zaltman, Duncan & Holbek (1973)
 I. Tahap permulaan (inisiasi) 
a. Langkah pengetahuan dan kesadaran 
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi 
c. Langkah keputusan
II. Tahap implemantasi 
a. Langkah awal implementasi 
b. Langkah kelanjutan pembinaan 
            Berikut ini diberikan uraian secara singkat proses inovasi dalam organisasi menurut Zaltman, Duncan dan Holbek (1973). Zalman dan kawan-kawan, membagi proses inovasi dalam organisasi menjadi dua tahap yaitu tahap permulaan dan implemntasi. 
Tiap tahap dibagi dalam beberapa langkah.
I.   Tahap Permulaan (initation stage)
    a. Langkah pengetahuan dan kesadaran
      Jika inovasi dipandang sebagai suatu ide, kegiatan, atau material, yang diamati baru oleh unit adopsi (penerima inovasi), maka tahu adanya inovasi menjadi masalah pokok. Sebelum inovasi dapat diterima oleh calon penerima harus sudah menyadari bahwa ada inovasi, dan dengan demikian ada kesempatan untuk menggunakan inovasi dalam organisasi. Sebagaimana telah kita bicarakan pada waktu membicarakan proses keputusan inovasi, maka timbul masalah yang dulu tahu dan sadar ada inovasi atau merasa butuh inovasi.
      Jika kita lihat kaitanya dengan organisasi maka adanya kesenjangan penampilan (performance gaps) mendorong untuk mencari cara-cara baru atau inovasi. Tetapi juga dapat terjadi sebaliknya karena sadar akan adanya inovasi, maka pimpinan organisasi merasa bahwa dalam organisasinya ada sesuatu yang ketinggalan, kemudian merubah hasil yang diharapkan, maka terjadi kesenjangan penampilan. 
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
            Dalam tahap ini anggota organisasi membentuk sikap terhadap inovsai. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sikap terhadap inovasi memegang peranan yang penting untuk menimbulkan inovasi untuk ingin berubah atau menerima inovasi.  Paling tidak ada dua hal dari dimensi sikap yang dapat ditunjukan anggota organisasi terhadap adanya inovasi yaitu : 
1). Sikap terbuka terhadap inovasi, yaitu ditandai dengan adanya: 
§  Kemauan anggota organisasi untuk mempertimbangkan inovasi. 
§  Mempertanyakan inovasi (skeptic) 
§  Merasa bahwa inovasi akan dapat meningkatkan kemampaun organisasi dalam menjalankan fungsinya.
2). Memiliki presepsi tentang potensi inovasi yang ditandai dengan adanya pengamatan yang menunjukan: 
·         Bahwa ada kemampuan bagi organisasi untuk menggunakan inovasi Organisasi telah per nah mengalami keberhasilan pada masa lalu dengan menggunakan inovasi 
·         Adanya komitmen atau kemauan untuk bekerja dengan menggunakan inovasi serta siap untuk menghadapi kemungkinan timbulnya masalah dalam penerapan inovasi. 
            Dalam mempertimbangkan pengaruh dari sikap anggota organisasi terhadap proses inovasi, maka perlu dipertimbangkan juga perubahan tingkah laku yang diharapkan oleh organisasi formal. Akan terjadi disonansi apabila terjadi perbedaan antara sikap individu dengan perubahan tingkah laku. Penerima disonan terjadi apabila anggota tidak menyukai inovasi, tetapi organisasi mengharapkan menerima organisasi. Sedangkan penolak disonan apabila anggota menyukai tetapi organisasi menolak inovasi. 
Menurut Rogers disonansi dapat berkurang dengan dua cara: 
1.      Anggota organisasi merubah sikapnya menyesuaikan dengan kemauan organisasi. 
2.      Tidak melanjutkan menerima inovasi, menyalah gunakan inovasi, disesuaikan dengan kemauan anggota organisasi. Untuk melancarkan proses inovasi , perlu mempertimbangkan berbagai variabel yang dapat meningkatkan motivasi sert atersedianya sumber bahan pelaksana.
c. Langkah pengambilan keputusan
            Pada langkah ini segala informasi mengenai potensi inovasi dievaluasi. Jika menganggap inovasi itu dapat diterima dan ia senang menerimanya maka inovasi akan diterima dan diterapkan dalam organisasi. Demikian pula sebaliknya, jika unit tidak menyukai dan menganggap inovasi tidak bermanfaat maka ia akan menolak. 

II.    Tahap Implementasi (implementation stage)
Pada langkah ini kegiatan yang dilakukan oleh anggota organisasi ialah menerapka inovasi, ada dua langkah yang dilakukan yaitu; 
a. Langkah awal (permulaan) implementasi 
            Organisasi mencoba menerapkan sebagian inovasi. Misalnya setelah dekan memutuskan bahwa dosen harus membuat persiapan mengajar denagn model Satuan Acara Perkuliahaan, maka pada awal penerapannya setiap dosen diwajibkan membuat untuk satu mata kuliah dulu, sebelum nantiny akan berlaku untuk semua mata kuliah. 
b. Langkah kelanjutan pembinaan penerapan inovasi. 
            Jika pada penerapan awal telah berhasil, para anggota telah memahami serta memperoleh pengalaman dalam menerapkannya, maka tinggal melanjutkan dan manjaga kelangsunganya. 

Model Proses Inovasi Rogers (1983)
Tahap-tahap proses inovasi dalam organisasi 
I. Tahap Inisiasi (Permulaan) 
            Kegiatan pengumpulan infromasi, konseptualisasi, dan perencanaan untuk menerima inovasi, semuanya diarahkan untuk membuat keputusan menerima inovasi. 
1. Agenda Seting 
            Semua permasalahan umum organisasi dirumuskan guna menentukan kebutuhan inovasi, dan diadakan studi lingkungan untuk menetukan nilai potensial inovasi bagi organisasi. 
2. Penyesuaian (matching) 
            Diadakan penyesuaian antara masalah organisasi dengan inovasi yang akan digunakan, kemudian direncanakan dan dibuat disain penerapan inovasi yang sudah sesuai dengan masalah yang dihadapi. 

II. Tahap Implementasi 
1. Re-definisi/ Re-Strukturusasi 
            Inovasi dimodifikasi dan re-invensi disesuaikan situasi dan masalah organisasi. Struktur organisasi disesuaikan dengan inovasi yang telah dimodifikasi agar dapat menunjang inovasi. 
2. Klarifikasi 
            Hubungan antara inovasi dan organisasi dirumuskan dengan sejelas-jelasnya sehingga inovasi benar-benar dapat diterapkan sesuai yang diharapkan. 
3. Rutinisasi 
            Inovasi kemungkinan telah kehilangan sebagian identitasnya, dan menjadi bagian dari kegiatan rutin organisasi. (sudah hilang ke baruannya).

F. Budaya dan Globalisasi
            Globalisasi berasal dari kata global yang artinya seluruh atau menyeluruh. Globalisasi artinya dimana dunia terjadi hubungan-hubungan yang tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu dan tempat. Globalisme merupakan sebuah tatanan dunia baru dimana informasi antar negara berlangsung dalam jaringan kekuasaan horisontal. Adanya kebutuhan informasi yang ditandai oleh logika relasi. Globalisasi dilihat sebagai sebuah tatanan kesatuan konsensus yang proses informasi akan berjalan vertikal dan represif. Globalisasi perlu dilihat perangkat yang terlibat yaitu manusia teknologi, keuangan, citra media dan informasi serta ide-ide.
            Proses globalisasi adalah salah satu aspek dari kesadaran atas dunia yang satu dilain pihak perlu digambarkan kembali adanya kekhususan, lokalisme, kompleksitas, tumpang tindih dan keterputusan, perbedaan dan perbandingan antara luar (asing) dengan dalam lingkungan. Globalisasi pertama kali digunakan oleh Arnold Toynbee, untuk mendeskripsikan abad baru sejarah barat tahun 1870-an, dimana Toynbee telah menyumbangkan tentang keseimbangan totalitas dan ketidakpastian sejarah.
            Globalisasi berawal sejak awal 19 tepatnya setelah revolusi industri. Mekanisme industri dan penemuan baru dalam teknologi mempengaruhi pola kehidupan manusia yaitu keseragaman, kesamaan, standardisasi, formalitas dalam aturan main. Mcluhan adalah orang yang memberikan pemikirannya tentang globalisasi,dia mengatakan bahwa dunia ini akan menjadi satu “global village” yang digambarkan seperti diatas. Globalisasi terjadi pada ekonomi, informasi dan teknologi, lebih sering kita dengar, dimana jaringan internasional dibidang tersebut mengakibatkan efek kesamaan di suatu komunitas tertentu. Kemajuan teknologi memberikan sumbangan bagi kemajuan komunikasi, transportasi dan informatika. Manusia sulit membendung arus ini dan tidak berdaya, mau tidak mau mengikuti arus ini. Apakah ini berarti manusia mulai dikuasai oleh obyek yang dia ciptakan sendiri. Apakah manusia sudah menjadi manusia mitos ?.

1. Peranan Organisasi di Era Globalisasi
            Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya.
            Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
            Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
§  Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
§  Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
§  Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
§  Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
§  Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.

            “Organisasi di era globalisasi harus baik  atau bisa mati” telah dijelaskan dalam ekonomi sejak abad 21. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu banyak U.S korporasi multinasional yang beroperasi di Kanada atau barangkali Mexico, tetapi bukan di  banyak negara-negara lain. Perusahaan Amerika beroperasi di Kanada dan Mexico, tetapi banyak sekarang mempunyai perusahaan di Hongkong, Singapura, Jepang, Perancis, Jerman dan Bagian Tenggara Asia.
            Secara normal, organisasi meningkatkan langsung potensi yang sedang global di suatu periode. Kebanyakan organisasi pada awalnya menjadi global tanpa membuat cabang di negara-negara asing, dengan pengeksporan, perijinan, atau monopoli. Pengeksporan memerlukan penjualan luar negeri, yang manapun secara langsung atau secara tidak langsung, dengan menahan distributor dan agen asing. Ini merupakan suatu cara yang banyak bila bisnis kecil ingin memasuki pasar yang global.
Ada 4 peranan Organisasi di era globalisasi, yaitu :
1. Informasi
            Organisasi menyajikan data sejumlah permasalahan dan kebutuhan masyarakat, baik menyangkut permasalahan ekonomi dan  sosial budaya, dan mencoba menemukan alternatif pelayanan sosial yang dibutuhkan.
2. Mediasi
            Kadangkala terjadi ketidak sesuaian antara kebijakan pemerintah  dengan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Adanya kesenjangan ini akan menyebabkan “terjadinya konflik” antara kepentingan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat. Pada batas-batas tertentu, masyarakat tidak akan mendukung kegiatan pembangunan yang berasal dari pemeritah. Hal situasi ini, organisasi menjadi penghubung antara kebutuhan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
3. Advokasi
            Organisasi mewakili kepentingan masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dari pihak-pihak tertentu. Ketika ada pihak lain (pemerintah, pengusaha/ developer dll) yang menawarkan program kepada masyarakat, namun program tersebut akan merugikan kepentingan masyarkat, maka organisasi  atas nama masyarakat akan melakukan upaya pembelaannya. Seperti misalnya dalam pembebasan tanah untuk kepentingan perumahan atau industri, atau pembangunan industri yang polusinya dirasakan oleh masyarakat.
4. Pemberdayaan
            Organisasi  melaksanakan peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi masyarakat. Dengan adanya upaya pemberdayaan oleh organisasi, maka masyarakat secara swadaya dapat menyelesaikan permasalahannya, baik menyangkut bidang ekonomis maupun sosial budaya dan politik.
2. Globalisasi Budaya
            Globalisasi budaya adalah pertama, hasil dari peningkatan intensitas hubungan dan komunikasi antara suku bangsa dan para pembawa sekaligus penyalur lainnya yang memproduksi benturan budaya, yang menggeser batasan antara dirinya dan lainnya, kedua, perpaduan, percampuran dan sinkretisme, pemudaran dan penebaran antara piranti, informasi dan citra luar dengan budaya tradisional dan adat
Eksistensi globalisasi budaya bisa dilihat dari : perangkat praktek realitas, bentuk pengetahuan, konvensi dan gaya hidup yang dibangun menjadi kemandirian suku bangsa yang meningkat.
            Pengertian globalisasi budaya, dilihat dari pluralisme relasional adalah postmodernisme. Karakteristik Postmodernisme adalah bersifat populer, fleksibel, merupakan pilihan, keterbukaan, kesempatan, modifikasi dari kesenangan dan budaya, menandakan ketidakdalaman, permainan, peletakan kembali hedonisme, relatif, tidak tetap, tidak tentu, tidak fokus, penggalan dari menjadi, eksperimen individualis, pragmatis, keberagaman, penanda, skeptisisme, dekonstruksi, diskursif, pemudaran, bagian kecil dari sejarah, pastiche (kumpulan campur aduk) yang tidak relevan (Neville, 1997), simulasi (tiruan) dan hiperrealitas[6] (Baudillard,1980-an). Posmodernisme melawan dari apa yang disebut totaliter, pembangunan sistem dan perancangan sosial dari skema modernitas.
            Bentuk Globalisasi budaya dapat dilihat dari lompatan, kumpulan yang tidak teratur dan kumpulan bagian budaya saling berhubungan pada bagian dan tempat yang sama, dimana pada kenyataannya berbeda dan tidak cocok antara satu dengan yang lainnya, terjadinya relasi kekuasaan yang lebih didasari pada dimensi dan imajinasi makna kultural.
            Berbagai selera dan berbagai macam arus berjalan simultan. Banyaknya arus kebudayaan yang muncul, arus yang dominan yaitu budaya pop berbarengan dengan arus yang tidak dominan yaitu budaya pop berbarengan dengan arus yang tidak dominan, budaya etnik, arus bawah, avant garde, terkadang berbaur menjadi satu. Film Star Wars adalah film khayalan masa yang akan datang menggambarkan kemajuan dan penggunaan teknologi masa depan tetapi juga menggunakan atribut dan pakaian budaya seperti jubah, kepahlawanan, filsafat mitos. Ini bukan berarti kisah dari Arab atau Jepang. Globalisasi budaya disini telah menjadi sebagai penanda bukan simbol.        Globalisasi budaya adalah tingkat nol budaya kontemporer disebut juga ekletrisisme yaitu ketidakhadiran dari kriteria nilai estetika dimana realitas uang (segalanya lancar) menyepuh kepada kesempurnaan disertai ketimpangan dan konsumerisme populer. Postmodernisme adalah hasil kemajuan yang lebih kedepan dari ilmu pengetahuan, tetapi yang lebih kedepan itu ditarik kembali menjadi kekaburan diantara awan range kemajuan tersebut. Kondisi ini dinamai dengan “incredulity towards metanaratives”( Lyotard, 1960).
            Budaya Postmodern adalah budaya masa kini dibuat dari patahan masa lalu, bermain dengan potongan runtuhan sejarah. Bermain dengan potongan itu disebut postmodern (Baudillard, 1960-an).Globasalisasi dianggap telah mengacaukan sejarah, waktu telah bercampur. Masa lampau, masa kini dan masa datang menumpuk menjadi satu peristiwa. Sejarah menunjukkan adanya tranformasi konsep peristiwa atau kejadian dan konsekuensi tidak dapat dijelaskan dengan satu cara yang sama.. Sejarah adalah diskontuitas. Ditandai dengan salah satu diantaranya tranformasi atau peralihan (Foucoult) Sekarang apakah yang dinamakan perubahan ini berbalik “seratus delapan puluh derajat”, perpindahan atau yang disebut sebuah gradasi. Jawabannya adalah sebuah gradasi pada wilayah yang konstan dengan penebaran yang mempunyai range.
            Globalisasi budaya tak lebih dari pra-penempatan yang bersifat transisi dari penggalan sejarah dari tradisional dan modern. Hubungan wilayah geografis antara pusat, selaku Metropolitan Barat dan pinggiran dimana komunitas multirasial dan multikultural berada dipinggir. Formulasi identitas ,tradisi budaya, komunitas dan bangsa menjadi level baru yang kompleks, dinamakan “Stereotypes The Other” atau “Exoctic Other”, terjadi pada saat menuju pusat ditandai adanya pemudaran budaya, singkretisme dan penebaran terjadi. Aspek dari modernitas dunia barat belum terabaikan dan begitu pula aspek tradisional.
            Beberapa pengamat budaya mengatakan bahwa globalisasi budaya tidak terlepas dari hubungan antara budaya barat dan lokal tradisional atau suku bangsa (dunia ke-tiga).Seperti Arnold Toynbee katakan;
“Globalisasi adalah Pergerakan yang simultan dari budaya barat dan penguatan kembali negara non barat serta hubungan yang problematik antara barat dan non barat.. Barat adalah sebuah paradoks dari globalisasi peradaban barat disertai oleh kesadaran dirinya sendiri atas ketidak pastian budayanya.”
Globalisasi tak lebih dari hasil kebudayaan barat yang telah dikemas dan dimodifikasi ke dalam bentuk yang baru ;
“Globalisasi adalah dimana standar peradaban eropa dibangun, diperluas dan dimodifikasi dan dikemas, dari persektif yang berbeda dan dengan acuan yang spesifik ke hasil kerja yang dikemukakan secepatnya”. (Gong,1984)
Perpaduan dunia Barat yang memudar dengan pembalikan nilai tradisional yang mulai mencuat menjadi konsep pluralisme dunia oleh Friedman;
“Konsep pluralisme dunia adalah mode dunia barat yang berbeda menangkap fragmentasi sistem kebingungan identitas diri sendiri diwilayahnya. Ketika hegemoni adalah kuat dan meningkatkan wilayah budaya yang persis sama . Dilain pihak perangkat plural dialek menjadi bahasa nasional yang mana perbedaan budaya diterjemahkan kedalam kelanjutan dari standar ke nonstandar dan benar ke tidak benar,( Friedman,1980-an)” .

            Prasangka negatif terhadap postmedern yang bertendensi politik ekonomi bermunculan dari beberapa pihak, terjadinya relasi hegemoni, manipulasi dan kamuflase antara Postmodern atau globalisasi budaya dengan ‘Global kapital’, dimana postmodernisme dikatakan hanya meminjam sebagian dari bentuk modernitas (Global kapital)dan relasi kekuasaan yang terjadi adalah “power over” (Foucoult).
            Kritisisme postmodernisme telah gagal menghitung secara keseluruhan, dalam hal ini konteks dan kritisisme ideologi menjadi tidak terbedakan dari legitimasi ideologi bentuk sosial yang diciptakan oleh ‘global kapital’ pada global diwilayah lokal. ‘Global kapital’ memanipulasi masyarakat batas wilayah dan budaya. Melayak-pakaikan wilayah lokal kepada global untuk mengakui perbedaan budaya kedalam wajah kapital hanya dengan merobohkan dan membuat kembali menurut permintaan produksi dan konsumsi dan bahkan membentuk kembali bagian aktifitas melintasi batas wilayah untuk menciptakan produsen dan konsumen lebih respon kepada operasionalnya kapital.” (Dirklik, 1996)
            Budaya postmodernisme tidak lebih dari tiruan dari logika ‘multinasional kapital’ akhir, diperdayagunakan kembali dan dintensifkan. Nilai estetika disatukan kedalam produksi komoditas dan menyembunyikan aktivitas ekonomi lingkungan ‘multinasional kapital’. (Jameson, 1960-an).
            Ada kekhawatiran globalisasi budaya akan memusnahkan nilai-nilai dan budaya tradisional, jika dihubungkan kemajuan teknologi. Salah kaprah terjadi dalam pandangan selama ini. Dikatakan kemajuan teknologi berasal dari barat, ini memang ada benarnya. Tetapi kemajuan teknologi tidak ada hubungannya dengan budaya barat. Padahal orang Eropa pun punya kebudayaan tradisional (contohnya pakaian adat scotland dan belanda serta tari samba dan flamenco). Teknologi merupakan suatu perangkat, alat penyelesaian dan mempermudah suatu masalah. Teknologi lahir juga karena keadaan dan situasi budaya. Tidak beralasan kalau kita menggunakan Microsoft-nya Bill Gates, berarti kita juga harus mengikuti budaya hippies Amerika. Budaya sepertinya sudah fitrah bersifat regional. Secara budaya, kalau budaya tradisional masih merupakan bagian dari kehidupan kita tentunya tidak akan hilang. Wajar bila budaya mengalami transformasi karena manusia bersifat dinamis.
            Globalisasi budaya pada dasarnya memperjelas batas sebuah kelompok masyarakat pencipta budaya dan mempertinggi syarat penciptaan karya budayanya namun pada saat yang sama juga mengikis peluang legitimasi masyarakat tersebut.. Budaya tradisional adalah budaya daerah tradisional,yang sekarang didasari oleh penciptaan budaya dan seni belaka seperti tari jaipong, topeng betawi dan pendet. Bisa juga tarian tradisional bercampur dengan balet dan Afro-Amerika modern, itu yang disebut postmodern.Globalisasi budaya tidak harus merupakan suatu konsensus.
3. Pengaruh Globalisasi Bidang Sosial Budaya
A.  Pengaruh Negatif Globalisasi Bidang Sosial Budaya.
      Ada dua faktor pendukung munculnya globalisasi yaitu berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan adanya integrasi ekonomi. Namun meski hanya 2 faktor pendukung. Dampak globalisasi merambat pada segala sekor yang ada dan pengaruh Globalisasi bidang Sosial Budaya yang paling dapat kita rasakan adalah “Masuknya Budaya Barat”. Budaya Barat sangat bertentangan dengan Bangsa Asia khusunya Indonesia yang dianggap Budaya Timur.
            Di era Globalisasi ini, dengan mudahnya Budaya Barat masuk  melalui media internet, tv, ataupun media cetak yang kemudian diserap oleh banyak kaum muda. Hal ini saling berkesinambungan dengan pengaruh buruk lainnya dari globalisasi. Bagi Bangsa Asia, Masuknya Budaya Barat dapat menyebabkan:
1.  Cultur Shock
      Biasanya ditandai dengan perubahan budaya maupun kebiasaan dalam masyarakat. Norma masyarakat yang sebelumnya menjadi pedoman bagi seseorang bertindak perlahan-lahan berubah menjadi longgar.Misalnya kebiasaan memberikan salam dan mencium tangan pada orang tua sudah pudar di kalangan generasi muda. Pudarnya budaya atau kebiasaan pada masyarakat seperti memberikan salam dan mencium tangan pada orang tua sudah pudar di kalangan generasi muda sebagian besar disebabkan oleh masuknya budaya Barat.
            Memberi salam atau mencium tangan orang tua sudah tergantikan oleh “Cipika-Cipiki” yang diperkenalkan budaya Barat. Padahal ini tidak sesuai dengan Bangsa Timur yang lebih mengedepankan etika dalam bermasyarakat. Terlebih dalam Agama Islam “Cipika-Cipiki” dianggap dosa bila dengan lawan jenis.
2.  Sikap Meniru
a. Meniru perilaku yang buruk
            Banyak sekali adegan dalam film Barat yang tidak sepatutnya dicontoh oleh kaum muda. Misalnya perkelahian antarpelajar dan pelajar yag terintimidasi dalam sekolah.
b. Meniru Idola
            Seseorang yang mengidolakan suatu tokoh, pasti ingin sama persis menjadi seperti idolanya, setidaknya dalam hal bergaya atau berpakaian. Kita ambil contoh, siapa yang tak kenal Lady Gaga? Ia adalah salah satu dari banyak contoh penyanyi papan atas dari luar negri yang banyak dikagumi. Tak sedikit kaum muda yang mengidolakannya dan mengikuti gaya serta penampilannya. Cara berpakaian yang tak lazim bahkan mungkin dapat dikatakan “gila” serta lirik lagunya yang “satanic”. Tapi semua itu seolah tak berarti, dan tetap diikuti.
3. Style dari Bangsa Barat
            Barat yang identik dengan liberalisme, sangat bebas dalam berpakaian. Dan karena trend pakaian dunia berkiblat pada bangsa Barat, maka style/cara berpakaian bangsa Barat pun perlahan masuk dalam budaya kita dan berpakaian sangat sexy dengan rok pendek sudah mejadi hal yang lumrah.
4. Cultur lag (Kesenjangan Budaya)
            Cultur lag ditandai dengan kebiasaan anggota masyarakat melanggar aturan atau hukum. Hal yang tidak biasa dalam masyarakat kini telah menjadi lazim untuk dilakukan. Hal ini akibat kebebasan yang diajarkan budaya Barat sehingga dirasa terlalu bebas tanpa disertai tanggung jawab.
5. Sekularisme/Sekulerisme
            Merupakan Ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.
            Meningkatnya pengaruh sekularisme menyebabkan menurunnya pengaruh agama di dalam Negara. Orang-orang akan mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama dan takhayul. Selain Masuknya Budaya Barat yang menjadi akar dari semua dampak negatif Globalisasi bidang sosial budaya, ada unsur lain yang ikut berperan dalam hal ini yaitu “Kemajuan IPTEK”. Kemajuan IPTEK adalah dampak positif dari globalisasi dalam bidang Teknologi, namun ini sedikit banyak membawa dampak negatif bidang Sosial Budaya yang diantaranya melahirkan gaya hidup yang:
1.  Mewah
      Suatu gaya hidup yang mengedepankan merk dari barang-barang yang dikonsumsinya. Segala sesuatunya haruslah mewah denga harga yang menakjubkan.
2.  Individualistis
      Dulu sosialisasi hanya dapat terjadi jika kita pergi keluar rumah, menyapa tetangga ataupun mengobrol. Namun dizaman modern ini, hanya dengan duduk dialam rumah dengan internet, bahkan kita bisa bersosialisasi dengan orang-orang yang berada sangat jauh. Inilah akar dari individualistis yang tercipta karena tidak bersosialisasi secara langsung. Hal ini akan sangat fatal karena menciptakan seseorang dengan sikap yang tidak memperdulikan orang lain selain dirinya.
3.  Pragmatisme
      Pragmatisme adalah sikap yang menilai sesuatu dari untung ruginya bagi diri sendiri.  Padahal menolong tanpa pamrih adalah pelajaran dasar dalam bermasyarakat. Tapi semakin majunya jaman, menyebabkan lunturnya nilai-nilai gotong royong dan tolong-menolong. Individu lebih mengarahkan pada kegiatan yang menguntungkan saja.
4.  Matrealisme
      Suatu paham yang menilai segala sesuatunya dengan materi dan selalu berusaha memperkaya diri dengan materi berlebih. Gaya hidup seperti ini sepatutnya dihindari karena tidak semua barang dapat dinilai secara materi.
5.  Hedonisme
      Hedonisme menjiwai para pengusaha lokal yang hidup di beberapa negara miskin. Mereka meraih keuntungan yang banyak dengan cara menggali sumber daya alam tanpa batas. Tangan-tangan merekalah yang telah menggunduli hutan, mengotori sungai, mencemari ekosistem laut, dan penebar racun di udara. Para pengusaha lokal tersebut memperkaya diri mereka demi sebuah kesenangan hidup. Padahal secara tidak langsung, mereka telah menghancurkan keseimbangan alam dan menghilangkan mata pencaharian bagi orang-orang yang bergantung pada alam.
6.  Permisif
      Suatu paham yang membiarkan sesuatu hal yang dianggap tabu untuk diperlihatkan. Contoh dari pemahaman ini adalah Bangsa Barat yang mengajarkan untuk bertelanjang dada untuk pria bahkan sebagian wanita Barat yang ekstrem ikut bertelanjang dada. Sikap permisif tersebut berangsur-angsur mulai tumbuh dikalangan kaum pria. Tapi untuk kaum wanita kebanyakan tentunya tidak melakukan hal demikian. Terlebih aturan beberapa negara terutama bangsa Timur yang sangat membatasi.
7.  Konsumerisme
      Konsumerisme merupakan paham atau aliran atau ideologi dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Dan inilah hal yang paling sering terjadi seperti berbelanja pakaian terlalu banyak. Padahal pakaian tersebut tidak semuanya dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
8.  Sikap yang Serba Instant
      Era Globalisasi membuat mudah segala sesuatunya. Ingin makan mie, cukup menyeduh mie instant. Ingin makan bubur, cukup menyeduh bubur instant. Ingin makanan dalam waktu singkat, cukup pesan fast food. Serba instant yang hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Namun bukan berarti hal tersebut bagus. Sikap yang serba instant akan mengantarkan pada sifat yang tidak sabaran. Terlebih semua makanan yang instant berdampak negatif pada kesehatan tubuh.
9.  Malas & Lalai
      Seiring berkembangnya zaman, masyarakat beralih dari penggunaan Radio menjadi TV atau bahkan Internet. Hiburan yang disajikan begitu mengasyikan dan seru hingga membuat kita menjadi lalai dan malas.Bukan hanya berpengaruh pada kelalaian mengerjakan tugas namun juga dapat menyebabkan lalai dalam beribadah bahkan cenderung malas.
B.  Pengaruh Positif Globalisasi Bidang Sosial Budaya
            Banyak sekali pengaruh buruk akibat Globalisasi yang kita rasakan. Namun tentunya masih ada pengaruh positif Globalisasi Bidang Sosial Budaya yang dapat kita rasakan, atau mungkin bagi sebagian banyak orang sudah mengalaminya. Meningkatkan pembelajaran mengenai tata nilai sosial budaya, cara hidup, pola pikir yang baik, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa lain yang telah maju. Meningkatkan etos kerja yang tinggi, suka bekerja keras, disiplin, mempunyai jiwa kemandirian, rasional, sportif, dan lain sebagainya.
Bagaimana Cara Kita Menyikapi Globalisasi di Bidang Sosial dan Budaya ?
            Akibat dari perubahan sosial salah satunya adalah memudarnya jati diri bangsa. Jati diri (human character) adalah suatu sifat, watak, rasa, akal, kehendak, semangat, roh kesadaran dan kekuatan yang terdapat dalam jiwa manusia sebagai hasil dari proses belajar tentang nilai-nilai budaya yang luas dan yang muncul dalam perilaku tindakan.
Cara-cara untuk mengatasi memudarnya jati diri bangsa adalah sebagai berikut:
1. Jati diri harus berbasis kepada budaya dan kepribadian bangsa.
Jati diri yang telah tersusun harus berbasis kepada budaya dan kepribadian bangsa Indonesia, antara lain:
·          Religius                       - Integr asi dan Harmoni
·          Humanis                      - Berkomitmen terhadap kebenaran
·          Naturalis                      - Nasionalisme dan Pratiotisme
·          Terbuka                       - Kepatuhan kepada hukum
·          Demokratis                  - Berjiwa kemasyarakatan                  
·          Profesional                  - Jujur dan adil
·          Ber-IPTEK                  - Berjiwa seni dan estetika
·          Mandiri                       - Etis dan Moralis
·          Berjiwa Kultural
            Hal yang sangat memprihatinkan rakyat Indonesia dewasa ini adalah munculnya kehidupan yang bersifat paradoks dan menjadi bagian dari krisis bangsa yang multidimensial. Kondisi yang paradoks itu antara lain berupa masuknya budaya sekuler kedalam kehidupan bangsa Indonesia yang religius dan spiritualis sehingga muncul gaya hidup modern yang materialistik, individualistik, liberalis, hedonis dan vulgar.
            Sifat rakyat Indonesia yang sangat menghargai kejujuran, keikhlasan dan kemuliaan manusia, namun yang terjadi banyak orang yang memiliki karakter hipokrit atau munafik. Sifat ramah, terbuka, moderat dan bersahabat, namun yang terjadi sekarang adanya gerakan sosial radikal  yang menggunakan kekerasan, sehingga Indonesia disebut negara sarang teroris. Untuk mengatasi kondisi sosial yang paradoks tersebut, maka rakyat Indonesia harus membudayakan  dan mensosialisasikan jati diri  bangsa  seperti telah disebutkan sebelumnya.
1.  Memiliki Loyalitas Terhadap NKRI.
            Hubungan antar suku bangsa Indonesia belum harmonis karena masih ada suku bangsa yang mendominasi suku angsa lain yang lebih kecil. Globalisasi dan keterbukaan saat ini telah memperkuat paham etnosentrisme dan promordialisme sehingga beberapa suku bangsa di Indonesia ingin mendirikan negara medeka baru. Tentu saja keinginan ini mengancam eksistensi NKRI, yang akhirnya akan munculkan konflik sosial dengan kekerasan.
            Hendaknya semua pihak meyakini bahwa pembangunan jati diri bangsa Indonesia memiliki tujuan akhir, yaitu memperoleh persatuan dan kesatuan bangsa. Jati diri inilah yang membangun dan mengembangkan bangsa  agar memiliki identitas diri secara komprehensif sebagai pribadi yang percaya kepada diri sendiri, percaya akan potensi dengan kemampuan sendiri, mempertahankan harga diri, bersikap terbuka dan moderat.
2.  Memiliki Komitmen Tinggi Untuk Pelestarian Unsur dan Nilai Sosial.
      Kita harus menyadari bahwa setiap masyarakat akan menghadapi masalah perubahan sosial yang selalu terjadi sebagai dampak dari proses-proses sosial, seperti modernisasi dan industrialisasi
      Menurut Anthony Giddens, dampak dari modernisasi ada yang positif dan ada yang negatif. Modernisasi itu membawa perubahan-perbuhan menuju kemajuan  sekaligus juga membawa perubahan yang bersifat negatif seperti runtuhnya institusi sosial dan pudarnya budaya lokal. Tradisi dan budaya lokal dapat hilang secara perlahan-lahan  karena ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.




BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan teori-teori di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi.
2.      Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri.
3.      Terdapat 7 karakteristik dalam organisasi, yaitu: orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, kemantapan/stabilitas, inovasi dan keberanian mengambil resiko, dan perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
4.      Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin untuk menciptakan budaya organisasi yang etis, yaitu menjadi model peran yang visible, mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis kepada karyawan, memberikan pelatihan etis, memberikan penghargaan atas tindakan etis dan hukuman terhadap tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan mekanisme perlindungan.

B.  Saran- Saran
                  Saran yang penulis berikan dalam kajian budaya organisasi adalah bahwa budaya dalam organisasi seharusnya dapat dijunjung tinggi dan dijaga di dalam suatu organisasi. Sebab tanpa adanya budaya organisasi yang baik, suatu organisasi akan banyak memiliki suatu kesalahpahaman sehingga kegiatan organisasi tersebut akan berjalan kurang baik.



DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Abdul Azis. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan (Telaah Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung: Alfabeta
Wibowo. 2010. Budaya Organisasi. (Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja Jangka Panjang). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Larissa A. Grunig, James E. Grunig, Dkk. 2002. Excellent Public Relations and Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers 
Antonius Atoshoki Gea dan Antonina Panca Yuni Wulandari. 2006. Character Building IV :Relasi dengan Dunia. Jakarta: Elex Media Komputindo)
Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.





[1] Walter R. Freytag, Organizational Culture dalam Kevin R. Murphy and Frank E. Saal, eds.,
Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice (New Jersey : Lawrence Erlbaum
Associates, Inc., 1990) p.181
[2] Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership, 3rd Edition (San Fransisco : John Wiley
& Sons, Inc., 2004) p.17.
[4]Stephen Robbins. Perilaku Organisasi, edisi kesepuluh, alih bahasa Drs. Benyamin Molan.
Jakarta: PT. Macanan Jaya Cemerlang. 2008              
[5] Status quo adalah satu struktur yang berfungsi untuk mengekalkan apa yang sedia ada. 
[6] Hiperrealitas adalah “pengalaman transformasi dalam cara manusia melihat diri sendiri secara ontologis diantara objek-objek kebudayaan ciptaannya,” juga “dalam cara manusia membangun citra diri dan menyusun makna kehidupannya secara diskursif melalui objek-objek dan media-media (massa) dalam suatu ruang dan waktu yang membatasinya.”

Comments

Popular Posts