BUDAYA ORGANISASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebuah organisasi mempunyai
budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu pembeda antara satu organisasi
dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada yang sesuai dengan
anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang anggota
baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut harus
dapat menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat
membuat suatu organisasi menjadi terkenal dan bertahan lama. Yang jadi masalah
tidak semua budaya organisasi dapat menjadi pendukung organisasi itu. Ada
budaya organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Maksudnya tidak
dapat menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih ditakutkan lagi
organisasi itu tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan perkembangan zaman
karena dia merasa paling benar.
Dalam keadaan inilah anggota
tidak akan mendapatkan kepuasan kerja. Memang banyak faktor lain yang
menyebabkan anggota tidak memperoleh kepuasan kerja, tapi faktor budaya
organisasi merupakan faktor yang utama.
Meski telah disadari bahwa
budaya organisasi bersifat dinamik dan pluralistic, perdebatan tentang apakah
budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan masih terjadi. Pandangan
pertama yang diwakili oleh Gagliardi menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
di-manage dan dikendalikan. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa budaya
organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam diri setiap orang
pada dataran yang paling mendasar (alam bawah sadar), sehingga untuk merubah
budaya organisasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana alam
bawah sadar terbentuk dan berfungsi serta memungkinkan akan menimbulkan
konsekuensi yang tidak diinginkan.
Pandangan kedua menyatakan
bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Pandangan ini
terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa perubahan budaya
organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat yang
mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-syarat
tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan
budaya organisasi. Sementara ada pandangan yang lebih moderat dalam
mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak
mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan
ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana, kapan dan dalam
keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan
yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian
kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi ?
2.
Bagaimana asal muasal budaya organisasi ?
3.
Apa saja karakteristik budaya organisasi ?
4.
Bagaimanakah menciptakan budaya organisasi yang etis ?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian budaya organisasi.
2.
Menjelaskan asal muasal budaya organisasi.
3.
Mengetahui karakteristik budaya organisasi.
4.
Mengetahui bagaimana menciptakan budaya organisasi yang etis.
D. Manfaat
Penulisan
Makalah ini disusun dengan
harapan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara
teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep mata kuliah Interpersonal
Employee Relation khususnya materi “Budaya Organisasi” dan secara
praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1.
Penulis, sebagai wahana meningkatkan pengetahuan dan konsep
keilmuan, khususnya tentang materi Budaya Organisasi.
2.
Pembaca, sebagai media informasi mata kuliah Interpersonal
Relationkhususnya mengenai Budaya Organisasi.
E. Metode
Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode deskriptif.
Melalui metode ini penulis menguraikan permasalahan yang dibahas secara explanation atau
penjelasan yang komperhensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan
dengan menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data
melalui media pustaka dalam penyusunan makalah ini dan ditambah referensi
dari media internet. Penulis mencantumkan berbagai sumber untuk penulisan
makalah ini, selain itu juga penulis menggunakan metode kepustakaan untuk
mendapatkan data yang mendukung penyusunan makalah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Budaya Organisasi
Pengaruh budaya organisasi
terhadap perilaku organisasi sangat signifikan. Karena itu menciptakan budaya
organisasi yang sifatnya unik untuk setiap organisasi amatlah penting. Untuk
itu perlu dipahami apa budaya organisasi itu.
Budaya organisasi memiliki
makna yang luas. Walter R. Freytag mendefinisikan budaya organisasi
sebagai “a distint and shared set of conscious and unconscious
assumptions and values that binds organizational members together and
prescribes appropriate patters of behavior.” Freytag menitik beratkan pada
asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu
mengikat kepaduan suatu organisasi.[1]
Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para anggota di dalam
organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa
A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “the
sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and
expectations that organize and integrate a group of people who work together.” Definisi Grunig et.al. ini
mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya
organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang
mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara
bersama-sama.
Menurut Lathans (1998), budaya
organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku
anggota organisasi. Setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai dengan
budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sarplin (1995)
mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu system nilai, kepercayaan dan
kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur
system formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sebagai
suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai,
norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Budaya
organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value) organisasi
yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut
memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam
organisasi.
Schein (1992)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar
yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu,
dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi dan menanggulangi
masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan
merasakan berkanaan dengan masalah-masalah tersebut.[2]
Menurut Mondy dan Noe (1996),
budaya organisasi adalah system dari shared values,[3] keyakinan
dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan
struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup
nilai-nilai dan standar- standar yang mengarahkan perilaku organisasi dan
menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Sedangkan Hodge, Anthony dan
Gales (1996) mendefinisikan budaya organisasi (corporate culture)
sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik
organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable).
Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek
organisasi seperti arsitektur, seragam pola perilaku, peraturan, legenda,
mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sedangkan pada
level unobservable budaya organisasi mencakup shared
values, norma-norma, asumsi-asumsi, kepercayaan para anggota
organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan disekitarnya.
Budaya perusahaan juga dianggap
sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, megarahkan apa yang boleh
dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, serta bagaimana mengalokasikan sumber
daya dan mengelola sumber daya perusahaan, dan sebagai alat untuk menghadapi
masalah dan peluang dari lingkungan.
Dari sejumlah pengertian
diatas, tampak bahwa budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis
untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi, khususnya
kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk menentukan arah
organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya
organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari
lingkungan internal dan eksternal.
Menurut Susanto, “Budaya
organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman sember daya manusia untuk
menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam
perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai
yang ada dan bagaimana mereka harus bertingkah laku atau berperilaku.”
Menurut Robbins, Budaya
organisasi adalah suatu system makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota
yang membedakan organisasi tersebut dengan yang lain.[4] Menurut Gareth R. Jones,
“Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh
anggota-anggota organisasi, suatu system dari makna bersama.” Jadi budaya
organisasi itu adalah suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu
menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
Dari semua pendapat para ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan
norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota organisasi
sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi.
B. Asal
Muasal Budaya Organisasi
Kebiasaan, tradisi,
dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat
ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan
seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini
mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para
pendirinya.
Secara tradisional,
pendiri organisasi memiliki pengaruh besar
terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki
kendala karena kebiasaan atauideologi sebelumnya.
Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan
pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh
anggota organisasi. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama,
pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir,
perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
untuk mengidentifikasi diri. Dengan demikian, menginternalisasi
keyakinan, nilai,
dan asumsi pendiri tersebut. Apabila
organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor
penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para
pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
C. Karakteristik
Budaya Organisasi
Adanya budaya organisasi
sesungguhnya tumbuh karna diciptakan dan dikembangkan oleh individu-individu
yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang
harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai
tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka
berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan dapat dianggap sebagai Ciri
khas yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya.
Antonius dan Antonina
mengatakan mengenai karakteristik dan dimensi nilai yang terkandung dalam
budaya organisasi yaitu :
a.
Orientasi Hasil.
b.
Orientasi Orang.
c.
Orientasi Tim.
d.
Keagresifan.
e.
Kemantapan/stabilitas,
f.
Inovasi dan keberanian mengambil resiko.
g.
Perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
Dalam teori diatas dijelaskan
bahwa sebuah organisasi dapat memiliki karakteristik yang terkandung dalam
budaya organisasinya. Sejauh mana organisasi berfokus kepada hasil, dan bukan
hanya pada proses, melihat sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
hasil pada individu di dalam organisasi itu. Kemudian sejauh mana kegiatan
kerja di organisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu, melihat
sejauh mana karyawan itu agresif dan kompetitif, bukannya santai-santai, sejauh
mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo[5] sebagai
kontras dari pertumbuhan, lalu sejauh mana karyawan berani berinovasi dan
menghadapi resiko pekerjaan. Sampai pada akhirnya sejauh mana karyawan
mencermati pekerjaan lebih presisi dan memfokuskan pada hal-hal yang lebih
rinci.
Diperkuat dengan pendapat
Robbins dan Judge bahwa Kultur Organisasi mengacu kepada sebuah system makna
bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi lainnya. System makna bersama ini, bila dicermati secara
lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh
organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang,
secara keseluruhan, merupakan hakikat kultur organisasi.
1.
Innovation and Risk Taking (Inovasi dan pengambilan resiko), suatu tingkatan dimana
pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2.
Attention to Detail (Perhatian pada hal-hal detail), dimana pekerja diharapkan
menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal detail.
3.
Outcome Orientation (Orientasi pada manfaat), dimana menajemen memfokus pada
hasil atau manfaat daripada sekadar pada teknik dan proses yang dipergunakan
untuk mendapatkan manfaat tersebut.
4.
People Orientation (Orientasi pada orang), di mana keputusan manajemen
mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang dalam organisasi.
5.
Team Orientation (Orientasi pada tim), dimana aktivitas kerja di organisasi
berdasar tim daripada individual.
6.
Aggresiveness (Agresivitas),
dimana orang cenderung lebih agresif dan kompetitif daripada easygoing.
7.
Stability (Stabilitas),
dimana aktivitas organisasional menekankan pada menjaga status quo sebagai
lawan dari perkembangan.
Dari semua pendapat para ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik budaya
organisasi, yaitu inovasi dan pengambilan resiko, perhatian pada detail,
orientasi hasil, orientasi kepada para individu, orientasi kepada tim,
keagresifan, serta stabilitas.
D. Menciptakan Budaya Organisasi yang Etis
Isu dan kekuatan suatu kultur
mempengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya.
Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk
standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap risiko
tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana
selain juga hasil. Para manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk
mengambil resiko dan berani berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang
tak terkendali, dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan
juga pada tujuan apa yang akan dicapai.
Manajemen yang dapat dilakukan
untuk menciptakan kultur yang lebih etis dapat dilakukan dengan
praktik-praktik:
1. Menjadi model peran yang
visibel. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar
untuk menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior
dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua
karyawan.
2. Mengkomunikasikan
harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan
menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus
menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan
akan dipatuhi para karyawan.
3. Memberikan pelatihan etis.
Selenggarakan seminar. Lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan
sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan organisasi,
menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani
dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata memberikan
penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap tindakan yang tidak
etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi
hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menurut kode etik
organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang dipakai untuk mencapai sasaran
dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang bertindak etis harus
diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama pentingnya, tindakan
tidak etis harus diganjar secara terbuka/nyata.
5. Memberikan mekanisme
perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga karyawan
dapat mendiskusikan dilema-dilema etika dan melaporkan perilaku tidak etis
tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas
(ombudsmen), atau petugas etika.
E. Inovasi Dalam Organisasi
Inovasi
merupakan konsep yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Tren dari
keberhasilan pada masa sekarang merupakan indikasi dari terwujudnya dampak
inovasi. Inovasi banyak memberikan dampak terhadap kondisi organisasi maupun
kreatifitas dimana inovasi berasal, baik perorangan maupun organisasi. Dinamika
perubahan lingkungan yang begitu cepat yang ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menuntut sumber daya manusia yang berkualitas dan
selalu belajar.
Inovasi merupakan upaya
mempertahankan keberadaan organisasi dalam lingkungan. Inovasi dalam suatu
organisasi menjadi hal yang penting dilakukan untuk membawa organisasi menjadi
lebih baik dalam pencapaian tujuan dan tepat sasaran secara efektif dan
efisien. Adanya inovasi organisasi diharapkan dapat menanggapi kompleksitas
lingkungan dan dinamisasi perubahan lingkungan, terutama dalam persaingan yang
ketat dan menciptakan sumber-sumber bagi keunggulan bersaing.
1. Pengertian Inovasi dalam Organisasi
Sebelum kita bahas mengenai
pengertian inovasi dalam organisasi, sebelumnya kita akan menjelaskan
pengertian organisasi itu sendiri. Organisasi menurut pendapat Rogers adalah
suatu sistem yang stabil, yang merupakan perwujudan kerjasama antara
individu-individu, untuk mencapai tujuan bersama, dengan mengadakan jenjang dan
pembagian tugas tertentu. (Ibrahim, 1988 : 129). Orang membuat organisasi agar
dapat mengerjakan tugas rutin dalam keadaan stabil (mantap).
Adapun syarat-syarat
organisasi adalah sebagai berikut :
a.
Memiliki tujuan yang
dirumuskan dengan jelas. Dengan rumusan tujuan yang jelas, akan mempermudah
untuk menentukan struktur dan fungsi organisasi tersebut.
b.
Memiliki pembagian tugas
yang jelas. Suatu organisasi pasti terdiri dari beberapa posisi yang semuanya
mempunyai tanggungjawab dan tugas yang jelas. Meski memungkinkan adanya
pergantian orang dalam suatu organisasi, namun tugas dan fungsi masing-masing
posisi itu tidak berubah dan tetap pada tujuan organisasi.
c.
Memiliki kejelasan struktur
otoritas (kewenangan). Tidak semua posisi dalam organisasi memiliki kewenangan
yang sama. Dan dalam pengaturan kewenangannya diperjelas tentang pertanggung
jawaban setiap posisi.
d.
Memiliki aturan dasar/umum
(tujuan, syarat susunan pengurus dll.) dan aturan khusus (perincian kegiatan,
cara pembentukan pengurus dll.) atau biasa disebut dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga.
e.
Pola hubungan informal.
Sedangkan
pengertian inovasi itu sendiri adalah suatu ide, barang, kejadian, metode, yang
dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau
sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invention maupun diskoveri
(Udin Syaefudin, 2010 : 3). Dengan melihat secara singkat apa pengertian
organisasi dan pengertian inovasi, maka kita dapat memperoleh gambaran bahwa di
dalam sebuah organisasi juga memungkinkan terjadinya sebuah inovasi. Oleh
karena itu dapat kita simpulkan bahwa inovasi dalam organisasi adalah sesuatu
hal yang baru yang berupa apapun yang terjadi di dalam sebuah organisasi formal
maupun organisasi informal. Inovasi yang terjadi dalam sebuah organisasi
merupakan proses kemajuan organisasi tersebut, namun berbagai hambatan dan
rintangan akan terjadi saat inovasi itu mulai memasuki organisasi. Dengan
memahami proses inovasi dalam organisasi setidaknya akan dapat mengurangi
kegoncangan organisasi dalam melaksanakan difusi inovasi.
2. Kepekaan Organisasi Terhadap Inovasi
Kepekaan disini berarti
berhubungan dengan sejauh mana organisasi itu peka terhadap inovasi (lebih
cepat menerima inovasi). Ada beberapa variabel yang mempengaruhi kepekaasn
organisasi terhadap inovasi, yaitu :
1. Ukuran suatu organisasi. Makin besar ukuran
suatu organisasi makin cepat menerima inovasi.
2. Karakteristik struktur organisasi, yang
mencakup ;
3. Sentralisasi. Kewenangan dan kekuasaan dalam
organisasi dikendalikan oleh beberapa orang tertentu. Hal ini mempunyai
hubungan negatif terhadap kepekaan organisasi.
4. Kompleksitas. Artinya suatu organisasi
terdiri dari orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang tinggi.
Hal ini mempunyai hubungan positif terhadap kepekaan organisasi.
5. Formalitas. Artinya organisasi ini selalu
menekankan pada prosedur dan aturan-aturan baku dalam berogranisasi. Hal ini
mempunyai hubungan negatif terhadap kepekaan organisasi.
6. Keakraban hubungan antar anggota. Hal ini
juga jelas mempunyai hubungan positif terhadap kepekaan organisasi.
7. Kelenturan organisasi. Artinya sejauh mana organisasi
mau menerima sumber dari luar yang tidak ada kaitannya secara formal. Hal ini
mempunyai hubungan positif terhadap kepekaan organisasi.
8. Karakteristik perorangan (pemimpin). Ketika
seorang pemimpin memiliki sikap yang terbuka terhadap inovasi maka semakin
cepat organisasi itu menerima inovasi.
9. Karakteristik eksternal organisasi. Hal ini
berkaitan dengan sistem yang di anut oleh organisasi. Apabila organisasi
tersebut menganut sistem terbuka dalam arti mau menerima pengaruh dari luar
sistem, maka organisasi tersebut akan cepat menerima inovasi.
Selain itu, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi organisasi dalam mengimplementasikan sebuah inovasi :
a. Life Cycle
Seperti
halnya manusia, suatu organisasi juga mengalami siklus hidup dengan berbagai
tingkatan dan perkembangan (Sperry, Mickelson, dan Hunsaker, 1977). Tingkat
perkembangan organisasi pada saat inovasi diajukan akan mempengaruhi nilai
perubahan organisasi.
b. Culture
Semua
organisasi memiliki budaya masing-masing. Kebudayaan yang ada akan mempengaruhi
bagaimana penerimaan terhadap inovasi. Walaupun terkadang tidak selalu inovasi
dan kebudayaan yang ada pada organisasi cocok.
c. Strategic Plan
Salah
satu aspek yang mendukung implementasi inovasi adalah adanya rencana strategis
organisasi. Ketika inovasi selaras dengan rencana strategi organisasi, maka
pelaksana inovasi mempunyai tambahan argument kuat untuk mendapatkan dukungan
manajemen dan meyakinkan kelompok user.
d. External Conditions
Akan
selalu ada kondisi eksternal yang mempengaruhi organisasi. Hal –hal semacam ini
harus juga dipertimbangkan ketika mengaplikasikan sebuah inovasi. Karena hal
tersebut akan memberikan pengaruh yang signifikan secara tidak langsung
terhadap jalannya inovasi dan organisasi.
3. Keputusan Inovasi Dalam
Organisasi
Pengambilan keputusan dalam
suatu organisasi sangat penting karena menyangkut masa depan organisasi, apakah
keputusan itu membawa keberhasilan ataukah kegagalan dikarenakan kesalahan
dalam mengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan inovasi, metode ataupun cara
yang dilakukan tidaklah sama dengan langkah-langkah pengambilan keputusan biasa
dimana resiko sudah diketahui, maka perbedaannya disini adalah bahwa
pengambilan keputusan inovasi itu dimulai dengan adanya serba tak tentu (uncertainty).
Dalam organisasi, hal-hal
atau faktor yang merangsang adanya inovasi ialah terjadinya performance gaps
(kesenjangan penampilan) yaitu kondisi dimana adanya perbedaan antara apa yang
ditampilkan dengan apa yang seharusnya dilakukan ketika keputusan diambil. Dalam
hal ini bisa saja berbentuk macam-macam masalah organisasi.
4. Tipe-tipe pengambilan keputusan inovasi
dalam organisasi
Ada dua tipe pengambilan
keputusan inovasi yang sering digunakan dalam organisasi, perbedaannya adalah
sejauh mana anggota organisasi dapat ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan, kedua tipe itu ialah :
1. Keputusan Otoritas
Keputusan
otoritas dibuat oleh seorang atau sekelompok kecil orang-orang yang sering
disebut juga sebagai “kelompok dominan” dalam suatu organisasi. Dalam hal ini
keputusan untuk menolak atau menerima inovasi dipaksakan kepada anggota
organisasi oleh para petinggi organisasi. Ada dua macam keputusan otoritas yang
sering dgunakan dalam organisasi formal yaitu :
·
Keputusan otoritas dengan
partisipasi anggota organisasi (pendekatan partisipatif).
·
Keputusan otoritas tanpa
partisipasi anggota organisasi (pendekatan otoritatif).
Rogers
dan Soemaker (1971) membuat hipotesa bahwa kecepatan penerimaan inovasi lebih
cepat dengan menggunakan pendekatan otoritatif. Zaltman, Duncan dan Holbek (1973) mengemukakan bahwa perubahan
yang disebarkan dengan menggunakan pendekatan otoritatif banyak yang tidak
berkelanjutan daripada perubahan yang disebarkan menggunakan pendekatan
partisipatif. Keputusan otoritas biasanya dipandang lebih efisien karena urutan
pentahapan proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih
singkat.
2. Keputusan Kolektif
Rogers dan Soemaker (1971)
mendefinisikan keputusan kolektif sebagai suatu cara yang digunakan para
anggota sistem sosial untuk menerima atau menolak inovasi dengan kesepakatan
bersama dan semua anggota harus menerima keputusan yang telah dibuat bersama
tersebut. Keputusan kolektif biasanya digunakan oleh organisasi yang dibentuk
secara suka rela, misalnya organisasi kesenian atau olahraga. Menurut
Schein, ada dua hal yang menghambat dilaksanakannya pengambilan keputusan,
yaitu :
§ Anggota
minoritas sering merasa tidak cukup waktu pada saat mendiskusikan hal yang
diputuskan itu, sehingga mereka belum memahami secara mendalam.
§ Kelompok
minoritas menganggap bahwa dalam pemungutan suara itu terjadi dua kelompok yang
bersaing, saat ini mereka kalah dan mereka akan menunggu kesempatan untuk
berjuang mendapatkan kemenangan pada pemungutan suara di waktu yang akan
datang.
Tipe keputusan kolektif dapat memberikan fasilitas
proses inovasi dalam beberapa cara, antara lain:
§ Terjadi
mekanisme umpan balik secara internal.
§ Setiap
anggota mendapat kesempatan untuk dapat memahami akan kebutuhan inovasi.
§ Memberikan
kemungkinan lancarnya pelaksanaan implementasi.
§ Meningkatnya
kerja sama antar anggota dalam proses keputusan inovasi juga akan mempengaruhi
kelancaran implementasi.
Proses keputusan inovasi secara kolektif
sangat tepat digunakan dan akan efektif apabila partisipan (anggota organisasi)
merasa bahwa :
·
Inovasi
ditempatnya bekerja relevan dengan keperluannya.
·
Mereka memiliki
kemampuan untuk memulai dan menerapkan inovasi.
·
Mereka mempunyai
kewenangan untuk menggunakan inovasi.
·
Apabila
persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka kombinasi antara tipe keputusan
kolektif dan otoritas lebih tepat digunakan.
5. Proses Inovasi dalam Organisasi
Proses inovasi adalah
serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh individu atau organisasi, mulai sadar
atau tahu adanya inovasi sampai menerapkan (implementasi) inovasi. Kata proses
mengandung arti bahwa aktivitas itu dilakukan dengan memakan waktu dan setiap
saat tentu terjadi perubahan. Berapa lama waktu yang dipergunakan selama proses
itu berlangsung akan berbeda antara orang satu atau organisasi satu dengan yang
lain tergantung kepada kepekan orang atau organisasi terhadap inovasi.
Demikian pula selama proses
inovasi itu berlangsung akan selalu terjadi perubahan yang berkesinambungan
sampai proses itu dinyatakan berakhir.
Dalam mempelajari proses
inovasi para ahli mencoba mengidentifikasi kegiatan apa saja yang dilakukan
individu selama proses itu berlangsung serta perubahan apa saja yang terjadi
dalam inovasi, maka hasilnya diketemukan pentahapan proses inovasi. Untuk
memperluas wawasan tentang pentahapan proses inovasi, berikut akan kami
tunjukan berbagai model pentahapan dalam proses inovasi yang berorientasi pada
organisasi.
Beberapa model proses inovasi yang
berorientasi pada organisasi
1. Milo (1971)
a.
Konseptualisasi
b.
Tentatif Adopsi
c.
Penerimaan Sumber
d.
Implementasi
e.
Institualisasi
2. Shepard (1967)
a.
Penemu ide
b.
Adopsi
c.
Implementasi
3.
Hage & Aiken (1970)
a. Evaluasi
b. Inisiasi
c. Implementasi
d. Routinisasi
4.
Wilson (1966)
a. Konsepsi
perubahan
b. Pengusulan
perubahan
c. Adopsi
dan Implementasi
5. Zaltman, Duncan & Holbek (1973)
I.
Tahap permulaan (inisiasi)
a. Langkah pengetahuan dan kesadaran
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
c. Langkah keputusan
II. Tahap implemantasi
a. Langkah awal implementasi
b. Langkah kelanjutan pembinaan
Berikut
ini diberikan uraian secara singkat proses inovasi dalam organisasi menurut
Zaltman, Duncan dan Holbek (1973). Zalman dan kawan-kawan, membagi proses
inovasi dalam organisasi menjadi dua tahap yaitu tahap permulaan dan
implemntasi.
Tiap tahap dibagi dalam beberapa langkah.
I. Tahap Permulaan (initation stage)
a.
Langkah pengetahuan dan kesadaran
Jika
inovasi dipandang sebagai suatu ide, kegiatan, atau material, yang diamati baru
oleh unit adopsi (penerima inovasi), maka tahu adanya inovasi menjadi masalah
pokok. Sebelum inovasi dapat diterima oleh calon penerima harus sudah menyadari
bahwa ada inovasi, dan dengan demikian ada kesempatan untuk menggunakan inovasi
dalam organisasi. Sebagaimana telah kita bicarakan pada waktu membicarakan
proses keputusan inovasi, maka timbul masalah yang dulu tahu dan sadar ada
inovasi atau merasa butuh inovasi.
Jika
kita lihat kaitanya dengan organisasi maka adanya kesenjangan penampilan
(performance gaps) mendorong untuk mencari cara-cara baru atau inovasi. Tetapi
juga dapat terjadi sebaliknya karena sadar akan adanya inovasi, maka pimpinan
organisasi merasa bahwa dalam organisasinya ada sesuatu yang ketinggalan,
kemudian merubah hasil yang diharapkan, maka terjadi kesenjangan
penampilan.
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
Dalam
tahap ini anggota organisasi membentuk sikap terhadap inovsai. Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa sikap terhadap inovasi memegang peranan yang
penting untuk menimbulkan inovasi untuk ingin berubah atau menerima
inovasi. Paling tidak ada dua hal dari dimensi sikap yang dapat
ditunjukan anggota organisasi terhadap adanya inovasi yaitu :
1). Sikap terbuka terhadap inovasi, yaitu
ditandai dengan adanya:
§ Kemauan anggota organisasi untuk
mempertimbangkan inovasi.
§ Mempertanyakan inovasi (skeptic)
§ Merasa bahwa inovasi akan dapat meningkatkan
kemampaun organisasi dalam menjalankan fungsinya.
2). Memiliki presepsi tentang potensi inovasi
yang ditandai dengan adanya pengamatan yang menunjukan:
·
Bahwa ada kemampuan bagi organisasi untuk menggunakan
inovasi Organisasi telah per nah mengalami keberhasilan pada masa lalu dengan
menggunakan inovasi
·
Adanya komitmen atau kemauan untuk bekerja dengan
menggunakan inovasi serta siap untuk menghadapi kemungkinan timbulnya masalah
dalam penerapan inovasi.
Dalam
mempertimbangkan pengaruh dari sikap anggota organisasi terhadap proses
inovasi, maka perlu dipertimbangkan juga perubahan tingkah laku yang diharapkan
oleh organisasi formal. Akan terjadi disonansi apabila terjadi perbedaan antara
sikap individu dengan perubahan tingkah laku. Penerima disonan terjadi apabila
anggota tidak menyukai inovasi, tetapi organisasi mengharapkan menerima
organisasi. Sedangkan penolak disonan apabila anggota menyukai tetapi
organisasi menolak inovasi.
Menurut Rogers disonansi dapat berkurang
dengan dua cara:
1.
Anggota organisasi merubah sikapnya menyesuaikan dengan
kemauan organisasi.
2. Tidak
melanjutkan menerima inovasi, menyalah gunakan inovasi, disesuaikan dengan
kemauan anggota organisasi. Untuk melancarkan proses inovasi , perlu
mempertimbangkan berbagai variabel yang dapat meningkatkan motivasi sert
atersedianya sumber bahan pelaksana.
c. Langkah pengambilan keputusan
Pada
langkah ini segala informasi mengenai potensi inovasi dievaluasi. Jika
menganggap inovasi itu dapat diterima dan ia senang menerimanya maka inovasi
akan diterima dan diterapkan dalam organisasi. Demikian pula sebaliknya, jika
unit tidak menyukai dan menganggap inovasi tidak bermanfaat maka ia akan
menolak.
II. Tahap
Implementasi (implementation stage)
Pada langkah ini kegiatan yang dilakukan oleh
anggota organisasi ialah menerapka inovasi, ada dua langkah yang dilakukan
yaitu;
a. Langkah awal (permulaan)
implementasi
Organisasi
mencoba menerapkan sebagian inovasi. Misalnya setelah dekan memutuskan bahwa
dosen harus membuat persiapan mengajar denagn model Satuan Acara Perkuliahaan,
maka pada awal penerapannya setiap dosen diwajibkan membuat untuk satu mata
kuliah dulu, sebelum nantiny akan berlaku untuk semua mata kuliah.
b. Langkah kelanjutan pembinaan penerapan
inovasi.
Jika
pada penerapan awal telah berhasil, para anggota telah memahami serta
memperoleh pengalaman dalam menerapkannya, maka tinggal melanjutkan dan manjaga
kelangsunganya.
Model
Proses Inovasi Rogers (1983)
Tahap-tahap proses inovasi dalam
organisasi
I. Tahap Inisiasi (Permulaan)
Kegiatan
pengumpulan infromasi, konseptualisasi, dan perencanaan untuk menerima inovasi,
semuanya diarahkan untuk membuat keputusan menerima inovasi.
1. Agenda Seting
Semua
permasalahan umum organisasi dirumuskan guna menentukan kebutuhan inovasi, dan
diadakan studi lingkungan untuk menetukan nilai potensial inovasi bagi
organisasi.
2. Penyesuaian (matching)
Diadakan
penyesuaian antara masalah organisasi dengan inovasi yang akan digunakan,
kemudian direncanakan dan dibuat disain penerapan inovasi yang sudah sesuai
dengan masalah yang dihadapi.
II. Tahap Implementasi
1. Re-definisi/ Re-Strukturusasi
Inovasi
dimodifikasi dan re-invensi disesuaikan situasi dan masalah organisasi.
Struktur organisasi disesuaikan dengan inovasi yang telah dimodifikasi agar
dapat menunjang inovasi.
2. Klarifikasi
Hubungan
antara inovasi dan organisasi dirumuskan dengan sejelas-jelasnya sehingga
inovasi benar-benar dapat diterapkan sesuai yang diharapkan.
3. Rutinisasi
Inovasi
kemungkinan telah kehilangan sebagian identitasnya, dan menjadi bagian dari
kegiatan rutin organisasi. (sudah hilang ke baruannya).
F. Budaya
dan Globalisasi
Globalisasi berasal dari kata global
yang artinya seluruh atau menyeluruh. Globalisasi artinya dimana dunia terjadi
hubungan-hubungan yang tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu dan tempat.
Globalisme merupakan sebuah tatanan dunia baru dimana informasi antar negara
berlangsung dalam jaringan kekuasaan horisontal. Adanya kebutuhan informasi
yang ditandai oleh logika relasi. Globalisasi dilihat sebagai sebuah tatanan
kesatuan konsensus yang proses informasi akan berjalan vertikal dan represif.
Globalisasi perlu dilihat perangkat yang terlibat yaitu manusia teknologi,
keuangan, citra media dan informasi serta ide-ide.
Proses globalisasi adalah salah satu
aspek dari kesadaran atas dunia yang satu dilain pihak perlu digambarkan
kembali adanya kekhususan, lokalisme, kompleksitas, tumpang tindih dan
keterputusan, perbedaan dan perbandingan antara luar (asing) dengan dalam
lingkungan. Globalisasi pertama kali digunakan oleh Arnold Toynbee, untuk
mendeskripsikan abad baru sejarah barat tahun 1870-an, dimana Toynbee telah
menyumbangkan tentang keseimbangan totalitas dan ketidakpastian sejarah.
Globalisasi berawal sejak awal 19
tepatnya setelah revolusi industri. Mekanisme industri dan penemuan baru dalam
teknologi mempengaruhi pola kehidupan manusia yaitu keseragaman, kesamaan,
standardisasi, formalitas dalam aturan main. Mcluhan adalah orang yang
memberikan pemikirannya tentang globalisasi,dia mengatakan bahwa dunia ini akan
menjadi satu “global village” yang digambarkan seperti diatas. Globalisasi
terjadi pada ekonomi, informasi dan teknologi, lebih sering kita dengar, dimana
jaringan internasional dibidang tersebut mengakibatkan efek kesamaan di suatu
komunitas tertentu. Kemajuan teknologi memberikan sumbangan bagi kemajuan
komunikasi, transportasi dan informatika. Manusia sulit membendung arus ini dan
tidak berdaya, mau tidak mau mengikuti arus ini. Apakah ini berarti manusia
mulai dikuasai oleh obyek yang dia ciptakan sendiri. Apakah manusia sudah
menjadi manusia mitos ?.
1. Peranan Organisasi di Era
Globalisasi
Menurut asal katanya, kata
"globalisasi" diambil dari kata global,
yang maknanya ialah universal.
Achmad Suparman menyatakan Globalisasi
adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari
setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang
mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga
bergantung dari sisi mana orang melihatnya.
Ada yang memandangnya sebagai suatu
proses sosial atau
proses sejarah,
atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi
yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
§ Internasionalisasi: Globalisasi
diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini
masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi
semakin tergantung satu sama lain.
§ Liberalisasi: Globalisasi juga
diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan
tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
§ Universalisasi: Globalisasi juga
digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke
seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh
dunia.
§ Westernisasi: Westernisasi adalah
salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya
dari barat sehingga mengglobal.
§ Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas:
Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi
pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada
pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan
sekadar gabungan negara-negara.
“Organisasi di era globalisasi
harus baik atau bisa mati”
telah dijelaskan dalam ekonomi sejak abad 21. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu
banyak U.S korporasi multinasional yang beroperasi di Kanada atau barangkali
Mexico, tetapi bukan di banyak
negara-negara lain. Perusahaan Amerika beroperasi di Kanada dan Mexico, tetapi
banyak sekarang mempunyai perusahaan di Hongkong, Singapura, Jepang, Perancis, Jerman
dan Bagian Tenggara Asia.
Secara normal, organisasi meningkatkan langsung potensi yang
sedang global di suatu periode. Kebanyakan organisasi pada awalnya menjadi global tanpa
membuat cabang di negara-negara asing, dengan pengeksporan, perijinan, atau
monopoli. Pengeksporan memerlukan penjualan luar negeri, yang manapun secara
langsung atau secara tidak langsung, dengan menahan distributor dan agen asing.
Ini merupakan suatu cara yang banyak bila bisnis kecil ingin memasuki pasar
yang global.
Ada 4 peranan Organisasi di era globalisasi, yaitu :
1. Informasi
Organisasi menyajikan data sejumlah
permasalahan dan kebutuhan masyarakat, baik menyangkut permasalahan ekonomi
dan sosial budaya, dan mencoba menemukan alternatif pelayanan sosial yang
dibutuhkan.
2. Mediasi
Kadangkala terjadi ketidak sesuaian
antara kebijakan pemerintah dengan
pemahaman masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Adanya kesenjangan ini akan
menyebabkan “terjadinya konflik” antara kepentingan pemerintah dengan kebutuhan
masyarakat. Pada batas-batas tertentu, masyarakat tidak akan mendukung kegiatan
pembangunan yang berasal dari pemeritah. Hal situasi ini, organisasi menjadi
penghubung antara kebutuhan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
3. Advokasi
Organisasi mewakili kepentingan
masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dari pihak-pihak tertentu. Ketika ada
pihak lain (pemerintah, pengusaha/ developer dll) yang menawarkan program
kepada masyarakat, namun program tersebut akan merugikan kepentingan masyarkat,
maka organisasi atas nama
masyarakat akan melakukan upaya pembelaannya. Seperti misalnya dalam pembebasan
tanah untuk kepentingan perumahan atau industri, atau pembangunan industri yang
polusinya dirasakan oleh masyarakat.
4.
Pemberdayaan
Organisasi melaksanakan peningkatan
kemampuan dan keterampilan bagi masyarakat. Dengan adanya upaya pemberdayaan
oleh organisasi, maka masyarakat secara swadaya dapat menyelesaikan
permasalahannya, baik menyangkut bidang ekonomis maupun sosial budaya dan
politik.
2. Globalisasi Budaya
Globalisasi budaya adalah pertama,
hasil dari peningkatan intensitas hubungan dan komunikasi antara suku bangsa
dan para pembawa sekaligus penyalur lainnya yang memproduksi benturan budaya,
yang menggeser batasan antara dirinya dan lainnya, kedua,
perpaduan, percampuran dan sinkretisme, pemudaran dan penebaran antara piranti,
informasi dan citra luar dengan budaya tradisional dan adat
Eksistensi
globalisasi budaya bisa dilihat dari : perangkat praktek realitas, bentuk
pengetahuan, konvensi dan gaya hidup yang dibangun menjadi kemandirian suku
bangsa yang meningkat.
Pengertian globalisasi budaya,
dilihat dari pluralisme relasional adalah postmodernisme. Karakteristik
Postmodernisme adalah bersifat populer, fleksibel, merupakan pilihan,
keterbukaan, kesempatan, modifikasi dari kesenangan dan budaya, menandakan
ketidakdalaman, permainan, peletakan kembali hedonisme, relatif, tidak tetap,
tidak tentu, tidak fokus, penggalan dari menjadi, eksperimen individualis,
pragmatis, keberagaman, penanda, skeptisisme, dekonstruksi, diskursif,
pemudaran, bagian kecil dari sejarah, pastiche (kumpulan
campur aduk) yang tidak relevan (Neville, 1997), simulasi (tiruan) dan
hiperrealitas[6]
(Baudillard,1980-an). Posmodernisme melawan dari apa yang disebut totaliter,
pembangunan sistem dan perancangan sosial dari skema modernitas.
Bentuk Globalisasi budaya dapat
dilihat dari lompatan, kumpulan yang tidak teratur dan kumpulan bagian budaya saling
berhubungan pada bagian dan tempat yang sama, dimana pada kenyataannya berbeda
dan tidak cocok antara satu dengan yang lainnya, terjadinya relasi kekuasaan
yang lebih didasari pada dimensi dan imajinasi makna kultural.
Berbagai selera dan berbagai macam
arus berjalan simultan. Banyaknya arus kebudayaan yang muncul, arus yang
dominan yaitu budaya pop berbarengan dengan arus yang tidak dominan yaitu
budaya pop berbarengan dengan arus yang tidak dominan, budaya etnik, arus
bawah, avant garde, terkadang berbaur menjadi satu. Film Star Wars
adalah film khayalan masa yang akan datang menggambarkan kemajuan dan
penggunaan teknologi masa depan tetapi juga menggunakan atribut dan pakaian
budaya seperti jubah, kepahlawanan, filsafat mitos. Ini bukan berarti kisah
dari Arab atau Jepang. Globalisasi budaya disini telah menjadi sebagai penanda
bukan simbol. Globalisasi budaya
adalah tingkat nol budaya kontemporer disebut juga ekletrisisme yaitu
ketidakhadiran dari kriteria nilai estetika dimana realitas uang (segalanya
lancar) menyepuh kepada kesempurnaan disertai ketimpangan dan konsumerisme
populer. Postmodernisme adalah hasil kemajuan yang lebih kedepan dari ilmu
pengetahuan, tetapi yang lebih kedepan itu ditarik kembali menjadi kekaburan
diantara awan range kemajuan tersebut. Kondisi ini dinamai
dengan “incredulity towards metanaratives”( Lyotard, 1960).
Budaya Postmodern adalah budaya masa
kini dibuat dari patahan masa lalu, bermain dengan potongan runtuhan sejarah.
Bermain dengan potongan itu disebut postmodern (Baudillard,
1960-an).Globasalisasi dianggap telah mengacaukan sejarah, waktu telah
bercampur. Masa lampau, masa kini dan masa datang menumpuk menjadi satu
peristiwa. Sejarah menunjukkan adanya tranformasi konsep peristiwa atau
kejadian dan konsekuensi tidak dapat dijelaskan dengan satu cara yang sama..
Sejarah adalah diskontuitas. Ditandai dengan salah satu diantaranya tranformasi
atau peralihan (Foucoult) Sekarang apakah yang dinamakan perubahan ini berbalik
“seratus delapan puluh derajat”, perpindahan atau yang disebut sebuah gradasi.
Jawabannya adalah sebuah gradasi pada wilayah yang konstan dengan penebaran
yang mempunyai range.
Globalisasi budaya tak lebih dari
pra-penempatan yang bersifat transisi dari penggalan sejarah dari tradisional
dan modern. Hubungan wilayah geografis antara pusat, selaku Metropolitan Barat
dan pinggiran dimana komunitas multirasial dan multikultural berada dipinggir.
Formulasi identitas ,tradisi budaya, komunitas dan bangsa menjadi level baru
yang kompleks, dinamakan “Stereotypes The Other” atau “Exoctic Other”,
terjadi pada saat menuju pusat ditandai adanya pemudaran budaya, singkretisme
dan penebaran terjadi. Aspek dari modernitas dunia barat belum terabaikan dan
begitu pula aspek tradisional.
Beberapa pengamat budaya mengatakan
bahwa globalisasi budaya tidak terlepas dari hubungan antara budaya barat dan
lokal tradisional atau suku bangsa (dunia ke-tiga).Seperti Arnold Toynbee
katakan;
“Globalisasi adalah
Pergerakan yang simultan dari budaya barat dan penguatan kembali negara non
barat serta hubungan yang problematik antara barat dan non barat.. Barat adalah
sebuah paradoks dari globalisasi peradaban barat disertai oleh kesadaran
dirinya sendiri atas ketidak pastian budayanya.”
Globalisasi
tak lebih dari hasil kebudayaan barat yang telah dikemas dan dimodifikasi ke
dalam bentuk yang baru ;
“Globalisasi adalah
dimana standar peradaban eropa dibangun, diperluas dan dimodifikasi dan
dikemas, dari persektif yang berbeda dan dengan acuan yang spesifik ke hasil
kerja yang dikemukakan secepatnya”. (Gong,1984)
Perpaduan
dunia Barat yang memudar dengan pembalikan nilai tradisional yang mulai mencuat
menjadi konsep pluralisme dunia oleh Friedman;
“Konsep pluralisme dunia
adalah mode dunia barat yang berbeda menangkap fragmentasi sistem kebingungan
identitas diri sendiri diwilayahnya. Ketika hegemoni adalah kuat dan
meningkatkan wilayah budaya yang persis sama . Dilain pihak perangkat plural
dialek menjadi bahasa nasional yang mana perbedaan budaya diterjemahkan kedalam
kelanjutan dari standar ke nonstandar dan benar ke tidak benar,(
Friedman,1980-an)” .
Prasangka negatif terhadap
postmedern yang bertendensi politik ekonomi bermunculan dari beberapa pihak,
terjadinya relasi hegemoni, manipulasi dan kamuflase antara Postmodern atau
globalisasi budaya dengan ‘Global kapital’, dimana postmodernisme dikatakan
hanya meminjam sebagian dari bentuk modernitas (Global kapital)dan relasi
kekuasaan yang terjadi adalah “power over” (Foucoult).
Kritisisme postmodernisme telah
gagal menghitung secara keseluruhan, dalam hal ini konteks dan kritisisme
ideologi menjadi tidak terbedakan dari legitimasi ideologi bentuk sosial yang
diciptakan oleh ‘global kapital’ pada global diwilayah lokal. ‘Global kapital’ memanipulasi
masyarakat batas wilayah dan budaya. Melayak-pakaikan wilayah lokal kepada
global untuk mengakui perbedaan budaya kedalam wajah kapital hanya dengan
merobohkan dan membuat kembali menurut permintaan produksi dan konsumsi dan
bahkan membentuk kembali bagian aktifitas melintasi batas wilayah untuk
menciptakan produsen dan konsumen lebih respon kepada operasionalnya kapital.”
(Dirklik, 1996)
Budaya postmodernisme tidak lebih
dari tiruan dari logika ‘multinasional kapital’ akhir, diperdayagunakan kembali
dan dintensifkan. Nilai estetika disatukan kedalam produksi komoditas dan
menyembunyikan aktivitas ekonomi lingkungan ‘multinasional
kapital’. (Jameson, 1960-an).
Ada kekhawatiran globalisasi budaya
akan memusnahkan nilai-nilai dan budaya tradisional, jika dihubungkan kemajuan
teknologi. Salah kaprah terjadi dalam pandangan selama ini. Dikatakan kemajuan
teknologi berasal dari barat, ini memang ada benarnya. Tetapi kemajuan
teknologi tidak ada hubungannya dengan budaya barat. Padahal orang Eropa pun punya
kebudayaan tradisional (contohnya pakaian adat scotland dan belanda serta tari
samba dan flamenco). Teknologi merupakan suatu perangkat, alat penyelesaian dan
mempermudah suatu masalah. Teknologi lahir juga karena keadaan dan situasi
budaya. Tidak beralasan kalau kita menggunakan Microsoft-nya Bill Gates,
berarti kita juga harus mengikuti budaya hippies Amerika. Budaya sepertinya
sudah fitrah bersifat regional. Secara budaya, kalau budaya tradisional masih
merupakan bagian dari kehidupan kita tentunya tidak akan hilang. Wajar bila
budaya mengalami transformasi karena manusia bersifat dinamis.
Globalisasi budaya pada dasarnya
memperjelas batas sebuah kelompok masyarakat pencipta budaya dan mempertinggi
syarat penciptaan karya budayanya namun pada saat yang sama juga mengikis
peluang legitimasi masyarakat tersebut.. Budaya tradisional adalah budaya
daerah tradisional,yang sekarang didasari oleh penciptaan budaya dan seni
belaka seperti tari jaipong, topeng betawi dan pendet. Bisa juga tarian
tradisional bercampur dengan balet dan Afro-Amerika modern, itu yang disebut
postmodern.Globalisasi budaya tidak harus merupakan suatu konsensus.
3. Pengaruh Globalisasi Bidang
Sosial Budaya
A.
Pengaruh Negatif Globalisasi Bidang Sosial Budaya.
Ada dua faktor pendukung munculnya
globalisasi yaitu berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan adanya integrasi
ekonomi. Namun meski hanya 2 faktor pendukung. Dampak globalisasi merambat pada
segala sekor yang ada dan pengaruh Globalisasi bidang Sosial Budaya yang paling
dapat kita rasakan adalah “Masuknya Budaya Barat”. Budaya
Barat sangat bertentangan dengan Bangsa Asia khusunya Indonesia yang dianggap
Budaya Timur.
Di era Globalisasi ini, dengan
mudahnya Budaya Barat masuk melalui media internet, tv, ataupun
media cetak yang kemudian diserap oleh banyak kaum muda. Hal ini saling
berkesinambungan dengan pengaruh buruk lainnya dari globalisasi. Bagi Bangsa
Asia, Masuknya Budaya Barat dapat menyebabkan:
1.
Cultur Shock
Biasanya ditandai dengan perubahan budaya maupun
kebiasaan dalam masyarakat. Norma masyarakat yang sebelumnya menjadi pedoman
bagi seseorang bertindak perlahan-lahan berubah menjadi longgar.Misalnya
kebiasaan memberikan salam dan mencium tangan pada orang tua sudah pudar di
kalangan generasi muda. Pudarnya budaya atau kebiasaan pada masyarakat seperti
memberikan salam dan mencium tangan pada orang tua sudah pudar di kalangan
generasi muda sebagian besar disebabkan oleh masuknya budaya Barat.
Memberi salam atau mencium tangan
orang tua sudah tergantikan oleh “Cipika-Cipiki” yang diperkenalkan budaya
Barat. Padahal ini tidak sesuai dengan Bangsa Timur yang lebih mengedepankan
etika dalam bermasyarakat. Terlebih dalam Agama Islam “Cipika-Cipiki” dianggap
dosa bila dengan lawan jenis.
2.
Sikap Meniru
a. Meniru perilaku yang buruk
Banyak sekali adegan dalam film
Barat yang tidak sepatutnya dicontoh oleh kaum muda. Misalnya perkelahian
antarpelajar dan pelajar yag terintimidasi dalam sekolah.
b.
Meniru Idola
Seseorang yang mengidolakan suatu
tokoh, pasti ingin sama persis menjadi seperti idolanya, setidaknya dalam hal
bergaya atau berpakaian. Kita ambil contoh, siapa yang tak kenal Lady Gaga? Ia
adalah salah satu dari banyak contoh penyanyi papan atas dari luar negri yang
banyak dikagumi. Tak sedikit kaum muda yang mengidolakannya dan mengikuti gaya
serta penampilannya. Cara berpakaian yang tak lazim bahkan mungkin dapat
dikatakan “gila” serta lirik lagunya yang “satanic”. Tapi semua
itu seolah tak berarti, dan tetap diikuti.
3.
Style dari Bangsa Barat
Barat yang identik dengan
liberalisme, sangat bebas dalam berpakaian. Dan karena trend pakaian dunia
berkiblat pada bangsa Barat, maka style/cara berpakaian bangsa Barat pun
perlahan masuk dalam budaya kita dan berpakaian sangat sexy dengan rok pendek
sudah mejadi hal yang lumrah.
4.
Cultur lag (Kesenjangan Budaya)
Cultur lag ditandai dengan kebiasaan
anggota masyarakat melanggar aturan atau hukum. Hal yang tidak biasa dalam
masyarakat kini telah menjadi lazim untuk dilakukan. Hal ini akibat kebebasan
yang diajarkan budaya Barat sehingga dirasa terlalu bebas tanpa disertai
tanggung jawab.
5.
Sekularisme/Sekulerisme
Merupakan Ideologi yang
menyatakan bahwa sebuah institusi harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Dalam
kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai
sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang
hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum
bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral
yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari
negara-negara ini.
Meningkatnya pengaruh
sekularisme menyebabkan menurunnya pengaruh agama di
dalam Negara. Orang-orang akan mulai beralih kepada ilmu
pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama dan takhayul. Selain
Masuknya Budaya Barat yang menjadi akar dari semua dampak negatif Globalisasi
bidang sosial budaya, ada unsur lain yang ikut berperan dalam hal ini
yaitu “Kemajuan IPTEK”. Kemajuan IPTEK adalah dampak positif
dari globalisasi dalam bidang Teknologi, namun ini sedikit banyak membawa
dampak negatif bidang Sosial Budaya yang diantaranya melahirkan gaya hidup
yang:
1.
Mewah
Suatu gaya hidup yang mengedepankan merk
dari barang-barang yang dikonsumsinya. Segala sesuatunya haruslah mewah denga
harga yang menakjubkan.
2.
Individualistis
Dulu sosialisasi hanya dapat terjadi jika
kita pergi keluar rumah, menyapa tetangga ataupun mengobrol. Namun dizaman
modern ini, hanya dengan duduk dialam rumah dengan internet, bahkan kita bisa
bersosialisasi dengan orang-orang yang berada sangat jauh. Inilah akar dari
individualistis yang tercipta karena tidak bersosialisasi secara langsung. Hal
ini akan sangat fatal karena menciptakan seseorang dengan sikap yang tidak
memperdulikan orang lain selain dirinya.
3.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah sikap yang menilai
sesuatu dari untung ruginya bagi diri sendiri. Padahal menolong
tanpa pamrih adalah pelajaran dasar dalam bermasyarakat. Tapi semakin majunya
jaman, menyebabkan lunturnya nilai-nilai gotong royong dan tolong-menolong.
Individu lebih mengarahkan pada kegiatan yang menguntungkan saja.
4.
Matrealisme
Suatu paham yang menilai segala sesuatunya
dengan materi dan selalu berusaha memperkaya diri dengan materi berlebih. Gaya
hidup seperti ini sepatutnya dihindari karena tidak semua barang dapat dinilai
secara materi.
5.
Hedonisme
Hedonisme menjiwai para pengusaha lokal
yang hidup di beberapa negara miskin. Mereka meraih keuntungan yang banyak
dengan cara menggali sumber daya alam tanpa batas. Tangan-tangan merekalah yang
telah menggunduli hutan, mengotori sungai, mencemari ekosistem laut, dan
penebar racun di udara. Para pengusaha lokal tersebut memperkaya diri mereka demi
sebuah kesenangan hidup. Padahal secara tidak langsung, mereka telah
menghancurkan keseimbangan alam dan menghilangkan mata pencaharian bagi
orang-orang yang bergantung pada alam.
6.
Permisif
Suatu paham yang membiarkan sesuatu hal
yang dianggap tabu untuk diperlihatkan. Contoh dari pemahaman ini adalah Bangsa
Barat yang mengajarkan untuk bertelanjang dada untuk pria bahkan sebagian
wanita Barat yang ekstrem ikut bertelanjang dada. Sikap permisif tersebut
berangsur-angsur mulai tumbuh dikalangan kaum pria. Tapi untuk kaum wanita
kebanyakan tentunya tidak melakukan hal demikian. Terlebih aturan beberapa
negara terutama bangsa Timur yang sangat membatasi.
7.
Konsumerisme
Konsumerisme merupakan paham atau aliran
atau ideologi dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses
konsumsi atau pemakaian barang barang hasil produksi secara berlebihan atau
tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Dan inilah hal yang
paling sering terjadi seperti berbelanja pakaian terlalu banyak. Padahal
pakaian tersebut tidak semuanya dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
8.
Sikap yang Serba Instant
Era Globalisasi membuat mudah segala
sesuatunya. Ingin makan mie, cukup menyeduh mie instant. Ingin makan bubur,
cukup menyeduh bubur instant. Ingin makanan dalam waktu singkat, cukup pesan
fast food. Serba instant yang hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Namun
bukan berarti hal tersebut bagus. Sikap yang serba instant akan mengantarkan
pada sifat yang tidak sabaran. Terlebih semua makanan yang instant berdampak
negatif pada kesehatan tubuh.
9.
Malas & Lalai
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat
beralih dari penggunaan Radio menjadi TV atau bahkan Internet. Hiburan yang
disajikan begitu mengasyikan dan seru hingga membuat kita menjadi lalai
dan malas.Bukan hanya berpengaruh pada kelalaian
mengerjakan tugas namun juga dapat menyebabkan lalai dalam beribadah bahkan
cenderung malas.
B.
Pengaruh Positif Globalisasi Bidang Sosial Budaya
Banyak sekali pengaruh
buruk akibat Globalisasi yang kita rasakan. Namun tentunya masih ada pengaruh
positif Globalisasi Bidang Sosial Budaya yang dapat kita rasakan, atau mungkin
bagi sebagian banyak orang sudah mengalaminya. Meningkatkan pembelajaran mengenai tata nilai sosial budaya, cara
hidup, pola pikir yang baik, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa
lain yang telah maju. Meningkatkan
etos kerja yang tinggi, suka bekerja keras, disiplin, mempunyai jiwa
kemandirian, rasional, sportif, dan lain sebagainya.
Bagaimana Cara Kita Menyikapi
Globalisasi di Bidang Sosial dan Budaya ?
Akibat
dari perubahan sosial salah satunya adalah memudarnya jati diri bangsa. Jati
diri (human character) adalah suatu sifat, watak, rasa, akal,
kehendak, semangat, roh kesadaran dan kekuatan yang terdapat dalam jiwa manusia
sebagai hasil dari proses belajar tentang nilai-nilai budaya yang luas dan yang
muncul dalam perilaku tindakan.
Cara-cara
untuk mengatasi memudarnya jati diri bangsa adalah sebagai berikut:
1.
Jati diri harus berbasis kepada budaya dan kepribadian bangsa.
Jati
diri yang telah tersusun harus berbasis kepada budaya dan kepribadian bangsa
Indonesia, antara lain:
·
Religius -
Integr asi dan Harmoni
·
Humanis -
Berkomitmen terhadap kebenaran
·
Naturalis -
Nasionalisme dan Pratiotisme
·
Terbuka -
Kepatuhan kepada hukum
·
Demokratis -
Berjiwa kemasyarakatan
·
Profesional - Jujur dan adil
·
Ber-IPTEK - Berjiwa seni dan estetika
·
Mandiri - Etis dan Moralis
·
Berjiwa Kultural
Hal yang sangat memprihatinkan
rakyat Indonesia dewasa ini adalah munculnya kehidupan yang bersifat paradoks dan menjadi bagian dari krisis bangsa
yang multidimensial. Kondisi yang paradoks itu antara lain berupa masuknya
budaya sekuler kedalam kehidupan bangsa Indonesia yang religius dan spiritualis
sehingga muncul gaya hidup modern yang materialistik, individualistik,
liberalis, hedonis dan vulgar.
Sifat rakyat Indonesia yang sangat
menghargai kejujuran, keikhlasan dan kemuliaan manusia, namun yang terjadi
banyak orang yang memiliki karakter hipokrit atau
munafik. Sifat ramah, terbuka, moderat dan bersahabat, namun yang terjadi
sekarang adanya gerakan sosial radikal yang menggunakan kekerasan,
sehingga Indonesia disebut negara sarang teroris. Untuk mengatasi kondisi
sosial yang paradoks tersebut, maka rakyat Indonesia harus membudayakan dan
mensosialisasikan jati diri bangsa seperti telah
disebutkan sebelumnya.
1.
Memiliki Loyalitas Terhadap NKRI.
Hubungan antar suku bangsa Indonesia
belum harmonis karena masih ada suku bangsa yang mendominasi suku angsa lain
yang lebih kecil. Globalisasi dan keterbukaan saat ini telah memperkuat paham etnosentrisme dan promordialisme sehingga beberapa suku bangsa di Indonesia ingin
mendirikan negara medeka baru. Tentu saja keinginan ini mengancam eksistensi
NKRI, yang akhirnya akan munculkan konflik sosial dengan kekerasan.
Hendaknya semua
pihak meyakini bahwa pembangunan jati diri bangsa Indonesia memiliki tujuan
akhir, yaitu memperoleh persatuan dan kesatuan bangsa. Jati diri inilah
yang membangun dan mengembangkan bangsa agar memiliki identitas diri
secara komprehensif sebagai pribadi yang percaya kepada diri sendiri, percaya
akan potensi dengan kemampuan sendiri, mempertahankan harga diri, bersikap
terbuka dan moderat.
2.
Memiliki Komitmen Tinggi Untuk Pelestarian Unsur dan Nilai Sosial.
Kita harus menyadari bahwa setiap
masyarakat akan menghadapi masalah perubahan sosial yang selalu terjadi sebagai
dampak dari proses-proses sosial, seperti modernisasi dan industrialisasi
Menurut Anthony Giddens, dampak
dari modernisasi ada yang positif dan ada yang negatif. Modernisasi itu membawa
perubahan-perbuhan menuju kemajuan sekaligus juga membawa perubahan
yang bersifat negatif seperti runtuhnya institusi sosial dan pudarnya budaya
lokal. Tradisi dan budaya lokal dapat hilang secara
perlahan-lahan karena ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan teori-teori di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang
diterima dan dipahami bersama oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan
perilaku di dalam organisasi.
2.
Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri
hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir,
perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
untuk mengidentifikasi diri.
3.
Terdapat 7 karakteristik dalam organisasi, yaitu: orientasi hasil,
orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, kemantapan/stabilitas, inovasi dan
keberanian mengambil resiko, dan perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
4.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin untuk
menciptakan budaya organisasi yang etis, yaitu menjadi model peran yang
visible, mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis kepada karyawan,
memberikan pelatihan etis, memberikan penghargaan atas tindakan etis dan
hukuman terhadap tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan
mekanisme perlindungan.
B. Saran- Saran
Saran yang penulis berikan dalam kajian budaya organisasi adalah
bahwa budaya dalam organisasi seharusnya dapat dijunjung tinggi dan dijaga di
dalam suatu organisasi. Sebab tanpa adanya budaya organisasi yang baik, suatu
organisasi akan banyak memiliki suatu kesalahpahaman sehingga kegiatan
organisasi tersebut akan berjalan kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab,
Abdul Azis. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan
(Telaah Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung:
Alfabeta
Wibowo.
2010. Budaya Organisasi. (Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja
Jangka Panjang). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Larissa
A. Grunig, James E. Grunig, Dkk. 2002. Excellent Public Relations and
Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three
Countries. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc.,
Publishers
Antonius
Atoshoki Gea dan Antonina Panca Yuni Wulandari. 2006. Character
Building IV :Relasi dengan Dunia. Jakarta: Elex Media Komputindo)
Robbins,
Stephen P.; Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2.
Jakarta: Salemba Empat.
Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice (New
Jersey : Lawrence Erlbaum
Associates, Inc., 1990) p.181
[2] Edgar H. Schein, Organizational
Culture and Leadership, 3rd Edition (San Fransisco : John Wiley
&
Sons, Inc., 2004) p.17.
[4]Stephen Robbins. Perilaku
Organisasi, edisi kesepuluh, alih bahasa Drs. Benyamin Molan.
Jakarta: PT. Macanan Jaya
Cemerlang. 2008
[5] Status quo adalah satu struktur yang berfungsi untuk
mengekalkan apa yang sedia ada.
[6] Hiperrealitas adalah “pengalaman transformasi dalam
cara manusia melihat diri sendiri secara ontologis diantara objek-objek
kebudayaan ciptaannya,” juga “dalam cara manusia membangun citra diri dan
menyusun makna kehidupannya secara diskursif melalui objek-objek dan
media-media (massa) dalam suatu ruang dan waktu yang membatasinya.”
Comments
Post a Comment