DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP PERTUMBUHAN UMKM DI INDONESIA

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.  Perdagangan bebas dapat kita lihat pada Perdagangan Internasional yang sering dibatasi oleh berbagai pajak negara dan biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor. Sedangkan Usaha Kecil dan Menengah disingkat UMKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan sedikit  bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan biasanya memiliki jumlah anggota yang sangat terbatas. Di Indonesia UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jumlah UMKM hingga 2011 mencapai sekitar 52 juta. UMKM di Indonesia sangat penting bagi ekonomi karena menyumbang 60% dan menampung 97% tenaga kerja. Pemerintah Indonesia, membina UMKM melalui Dinas Koperasi dan UMKM, di masing-masing Provinsi atau Kabupaten/Kota.
 Sejak awal periode Orde Baru (1966-1998) hingga sekarang ini sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan usaha UMKM di dalam negeri dalam berbagai macam program dan kebijakan/peraturan, termasuk menerbitkan Undang-Undang (UU) UMKM No.20 tahun 2008. Program-program yang telah/masih dilakukan mulai dari berbagai sistem kredit bersubsidi mulai dari KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) pada dekade 1970-an hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperkenalkan oleh Presiden SBY.
Pada era globalisasi dinamika perekonomian dan perdagangan indonesia dihadapkan pada isu perdagangan bebas regional yang dikenal dengan AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam perkembangan area bebas regional seperti CAFTA ( China Asean Free Trade Area) yang secara faktual berpengaruh pada aktor aktor perekonomian indonesia, termasuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), salah satu industri yang dianggap penting di indonesia adalah Industri Kerajinan batik. Komoditas ini menjadi salah satu ikon di Indonesia karena merupakan salah satu warisan nusantara yang berhasil di sahkan oleh lembaga kebudayaan PBB (UNESCO, United Nation Education Social and Cultural Organization) sebagai warisan budaya dunia, pengaruh kerjasama CAFTA (China ASEAN Free Trade Area) terhadap UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah ) industri kerajinan batik indonesia berdampak positif dan negatif.
 Namun banyak studi maupun data nasional yang ada menunjukkan bahwa kinerja UMKM di Indonesia masih relatif buruk bukan saja dibandingkan dengan usaha besar (UB), tetapi juga dibandingkan dengan UMKM di negara-negara maju. Bahkan belakangan ini, muncul perdebatan terutama dikalangan akademis dan pembuat kebijakan apakah UMKM Indonesia mampu bersaing di pasar ekspor atau paling tidak bisa bertahan di pasar dalam negeri terhadap persaingan yang semakin ketat dari barang-barang impor. Perdebatan ini semakin sengit dengan diberlakukannya CAFTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ME-ASEAN) pada tahun 2015 nanti, yang pada intinya adalah tidak ada lagi hambatan terhadap arus barang dan jasa, manusia dan modal antara negara-negara anggota ASEAN.
Oleh karena itu melihat dampak yang sangat luar biasa merugikan tersebut sebaiknya harus dilakukan antisipasi yang cepat dan menyeluruh. Langkah segera yang dapat diupayakan adalah pemerintah negosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas itu atau minimal menundanya, terutama untuk sektor-sektor yang belum siap. Indonesia perlu melakukan seleksi produk untuk melindungi industri nasional. Misalnya, garmen Indonesia dibebaskan masuk ke negara lain, sementara industri makanan dibolehkan masuk. Pemerintah mencabut pungutan retribusi yang memberatkan dunia usaha di daerah agar industri lokal menjadi kompetitif dan sekarang dengan mulainya masyarakat cinta terhadap produk asli indonesia memberikan angin segar terhadap UMKM/Industri Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Mampukah kelompok usaha tersebut bersaing atau bahkan bertahan terhadap semakin gencarnya barang-barang impor yang masuk ke pasar domestik?
2.      Mampukah UMKM Indonesia memanfaatkan peluang yang muncul dari diberlakukannya CAFTA (China Asean Free Trade Area) dan nanti pada tahun 2015 ME-ASEAN, yakni kesempatan memperluas pasar ekspor?

1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan perdagangan bebas.
2.      Mengetahui dampak negatif  dari perdagangan bebas yang terjadi sekarang ini terhadap UMKM di  Indonesia.




2.1 Sekilas Sejarah Perdagangan Bebas

Sejarah dari perdagangan bebas internasional adalah sejarah perdagangan internasional memfokuskan dalam pengembangan dari pasar terbuka. Diketahui bahwa bermacam kebudayaan yang makmur sepanjang sejarah yang bertransaksi dalam perdagangan. Berdasarkan hal ini, secara teoritis rasionalisasi sebagai kebijakan dari perdagangan bebas akan menjadi menguntungkan ke negara berkembang sepanjang waktu. Teori ini berkembang dalam rasa modernnya dari kebudayaan komersil di Inggris, dan lebih luas lagi Eropa, sepanjang lima abad yang lalu. Sebelum kemunculan perdagangan bebas, dan keberlanjutan hal tersebut hari ini, kebijakan dari merkantilisme telah berkembang di Eropa di tahun 1500. Ekonom awal yang menolak merkantilisme adalah David Ricardo dan Adam Smith.
Ekonom yang menganjurkan perdagangan bebas percaya kalau itu merupakan alasan kenapa beberapa kebudayaan secara ekonomis makmur. Adam Smith, contohnya, menunjukkan kepada peningkatan perdagangan sebagai alasan berkembangnya kultur tidak hanya di Mediterania seperti Mesir, Yunani, dan Roma, tapi juga Bengal dan Tiongkok. Kemakmuran besar dari Belanda setelah menjatuhkan kekaisaran Spanyol, dan mendeklarasikan perdagangan bebas dan kebebasan berpikir, membuat pertentangan merkantilis/perdagangan bebas menjadi pertanyaan paling penting dalam ekonomi untuk beberapa abad. Kebijakan perdagangan bebas telah bersibaku dengan merkantilisme, proteksionisme, isolasionisme, komunisme dan kebijakan lainnya sepanjang abad.
Sejarah masuknya perdagangan bebas di Indonesia tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita yang masih rendah. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, kita perlu mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa orde lama hingga masa reformasi.

 2.2 Pemerintahan Mada Masa Orde Lama

Pemerintahan pada masa orde lama dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
3. Kas Negara kosong
4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Permasalahan ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Program Benteng (Kabinet Natsir) yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
2. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman).
3. Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi importer pribumi, sangat berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur colonial menjadi nasional).
4. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.(Kabinet Burnahudin).

c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut:
ü  Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
ü  Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
ü  Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

2.3 Pemerintahan Masa Orde Baru

Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :
a. Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara.

b. Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun  986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya. Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :
o   Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama melalui devaluasi September 1986).
o   Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988″ yang menghapus monopoli impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.
o   Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan pembatasan.
o   Kebijakan menciptakan lingkungan legal yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu.
            Dampak dari kebijakan tersebut cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Pemerintahan Orde Baru runtuh. Pemerintahan Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi yang memberikan dampak sebagai berikut:
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi. Barang–barang impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut. Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil pembangunan.

2.4 Pemerintahan Reformasi

Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta).

2.5 Dampak Negatif Perdagangan Bebas Terhadap UMKM di Indonesia

            Mudah masuknya produk-produk China yang harganya relatif sangat murah akan mematikan UMKM. Hal itu dapat menghambat daya saing dari produk-produk UMKM karena masyarakat Indonesia memiliki tingkat perekonomian yang lemah. Masih banyak masyarakat yang miskin. Masyarakat Indonesia lebih cenderung menyukai barang yang harganya murah walaupun mereka tahu barang tersebut bukan produk Indonesia. Bukan berarti mereka tidak mendukung produk Indonesia atau tidak ingin memajukan produk Indonesia, melainkan tuntutan ekonomilah yang menuntut mereka membeli produk yang murah. Produk tekstil dalam negeri kalah bersaing di wilayah timur Indonesia terutama di Sulawesi produk tekstil China yang menang 30% di pasar domestik. Untuk itu bagi pelaku UMKM yang menggunakan mesin dan karyawan banyak dibutuhkan revitalisasi mesin agar bisa produktif. Produk China akan membanjiri Indonesia. Produk-produk China yang masuk ke sini bukan hanya barang-barang modal, melainkan juga barang-barang konsumsi yang harganya supermurah, yang beberapa di antaranya berpotensi merusak kesehatan. Beralihnya posisi produsen UMKM menjadi pedagang karena produsen merasa mereka akan lebih aman jika hanya menjadi pedagang. Hal ini tentu sangat fatal akibatnya.
Kebijakan perdagangan internasional telah mengalami suatu perubahan fundamental di banyak negara di Asia, khususnya di Asia Tenggara dan Timur, dalam dua decade terakhir ini. Di Indonesia sendiri, liberalisasi perdagangan luar negeri telah dimulai bertahap sejak tahun 1986 dan sejak tahun 1994 Indonesia sudah mengurangi secara signifikan tarif-tarif impornya dari rata-rata tidak tertimbang sekitar 20 persen pada tahun 1994 ke 9,5 persen pada tahun 1998. Pada tahun 1998, tarif-tarif impor yang dikenakan terhadap berbagai produk makanan juga dikurangi hingga maksimum 5 persen. Selain tarif-tarif impor, pemerintah Indonesia juga menghilangkan berbagai macam hambatan non-tarif (NTBs) terhadap impor and hambatan-hambatan terhadap ekspor. Sejak krisis ekonomi tahun 1997-98, Indonesia telah melakukan berbagai deregulasi di dalam kebijakan perdagangan luar negerinya untuk komoditas-komoditas utama pertanian (terkecuali beras untuk alas an-alasan sosial dan politik), dan juga sudah menghapus praktek-praktek monopoli dalam produksi dan perdagangan di industri-industri tertentu terutama yang membuat produk-produk perantara atau bahan baku bagi sektor-sektor lainnya, termasuk semen, kayu lapis dan rotan dan mengurangi pajak teradap ekspor kayu.
Ada kepercayaan umum bahwa liberalisasi perdagangan antar negara akan menguntungkan ekonomi dalam negeri maupun dunia secara keseluruhan. Pada tingkat makro, jalur-jalur lewat mana liberalisasi perdagangan internasional dapat membawakan keuntungan-keuntungan secara luas adalah berikut ini: perbaikan alokasi sumber-sumber daya produksi (dalam arti sumber-sumber daya produksi yang terbatas akan tersalurkan ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif); akses ke teknologi-teknologi yang lebih baik atau barang-barang modal dan perantara dengan teknologi maju (jadi negara-negara yang belum mampu mengembangkan teknologinya sendiri, termasuk Indonesia, tidak akan ketinggalan dalam perkembangan teknologi karena dengan mudah bisa didapat dari negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang dan lainnya); skala ekonomis dan skop (dengan adanya perdagangan antar negara maka setiap negara bisa memperluas pasarnya sehingga dalam produksinya skala ekonomis bisa tercapai dan setiap negara bisa memperluas variasi produk yang dapat diproduksi di dalam negeri dengan berdasarkan spesialisasi); persaingan di pasar domestik yang lebih besar (dan ini memaksa setiap perusahaan di dalam negeri untuk meningkatkan daya saingnya lewat peningkatan efisiensi, perbaikan kualitas produk, dan lainnya); dan adanya pertumbuhan eksternalitas yang menguntungkan seperti peralihan pengetahuan dan lainnya (Falvey dan Kim, 1992). Sedangkan pada tingkat mikro, secara teori, liberalisasi perdagangan internasional, atau seperti CAFTA dan ME-ASEAN 2015 dalam konteks ASEAN, bisa mempengaruhi secara negatif atau positif perusahaan-perusahaan lokal (misalnya Indonesia) secara individu lewat empat cara sebagai berikut.
1.      Lewat peningkatan persaingan di pasar domestik. Tarif impor yang rendah atau nol dan tidak adanya pembatasan (kuota) dan hambatan-hambatan impor lainnya akan meningkatkan daya saing di pasar domestik, dan hal ini akan memaksa perusahaan-perusahaan lokal yang tidak efisien/produktif untuk memperbaiki kinerjanya.
2.      Pandangan ini sejalan dengan teori umum yang mana skala usaha diprediksi mempengaruhi secara positif kinerja ekspor dari perusahaan-perusahaan. Teori perdagangan internasional yang baru menem The new international trade theory menghipotesakan suatu dampak positif dari luas pasar dalam pandangan dari skala ekonomis.
            Lebih dari setengah dari perusahaan-perusahaan yang diteliti yang tidak terlibat dalam perdagangan internasional adalah UMKM. Pada ekstrim lainnya, hampir setengah dari perusahaan-perusahaan yang diteliti yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan impor dan ekspor adalah UB dengan mengerjakan lebih dari 200 pekerja. Kelihatannya perusahaan-perusahaan besar lebih berhasil dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil dalam mengintegrasikan kegiatan-kegiatan produksi mereka ke dalam rantai global dari produksi. Sedangkan studi-studi lainnya itu menyimpulkan bahwa keberhasilan UMKM dalam liberalisasi perdagangan internasional, khususnya impor, terletak pada kemampuannya untuk bersaing dengan produk-produk impor, dan kemampuan ini pada gilirannya tergantung pada kemampuannya memperluas kapasitas produksi, mendapatkan SDM yang baik dan teknologi-teknologi
Adapun Sikap dalam menghadapi masalah ini yaitu dengan cara :
  1. Dengan peningkatan capacity building industry dalam negeri. Diantaranya dengan memperbaiki infrastruktur berupa pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, pembangkit dan jaringan pasokan energi dan sarana pendukung lainnya.
  2. Kebijakan safeguard yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
  3. Voluntary Export Restraint (VER), hal inilah yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat ketika Negara ini diserbu oleh produk China. Indonesia dapat meminta China untuk mencabut subsidi ekspor dan membeli produk Indonesia lebih banyak lagi.



Kesimpulan

Perdagangan bebas sangatlah memiliki dampak yang buruk terhadap UMKM di negara kita, hal itulah yang menyebabkan lesu atau bangkrutnya perusahaan-perusahaan kecil yang ada di sekitar kita dan juga menyebabkan meningkatnya pengangguran di masyarakat karena terjadinya PHK oleh perusahaan yang bangkrut. Di Indonesia UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jumlah UMKM hingga 2011 mencapai sekitar 52 juta. UMKM di Indonesia sangat penting bagi ekonomi karena menyumbang 60% dan menampung 97% tenaga kerja. Tetapi akses ke lembaga keuangan sangat terbatas baru 25 atau 13 juta pelaku UMKM yang mendapat akses ke lembaga keuangan.  Pemerintah Indonesia seharusnya membina UMKM melalui Dinas Koperasi dan UMKM, di masing-masing Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Perdagangan bebas ASEAN-Cina per 1 Januari 2010 membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah bersaing. Akibatnya, angka pengangguran diperkirakan melonjak. Pengusaha Indonesia yang tak mampu bersaing dengan Cina akan gulung tikar atau mengurangi kapasitas produksinya. Walaupun sudah cukup banyak program pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang untuk mendukung perkembangan UMKM di tanah air, kinerja UMKM dan kondisinya di tanah air secara umum masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan seperti yang telah ditunjukkan di dalam studi ini, hasil dari sebuah penelitian APEC menunjukkan bahwa daya saing UMKM Indonesia paling rendah dibandingkan UMKM di sejumlah ekonomi APEC lainnya yang diteliti. Ini menimbulkan keraguan mengenai kemampuan UMKM Indonesia, khususnya UMI yang mendominasi jumlah UMKM di tanah air, untuk mampu bersaing di pasar regional (misalnya ASEAN atau APEC) atau dunia, atau bahkan untuk bisa mempertahankan pangsa pasar domestik dengan semakin dasyatnya barang-barang impor membanjiri pasar dalam negeri.
            Oleh sebab itu, banyak hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang diantaranya adalah:
v  Pembangunan infrastruktur baik fisik (seperti jalan raya, listrik dan fasilitas komunikasi, dan pelabuhan) dan non-fisik (seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/pelatihan, dll), mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga di tingkat provinsi.
v  Pemberdayaan kembali semua sentra-sentra UMKM yang sempat dikembangkan dengan dukungan pemerintah pada era Orde Baru, namun terlantarkan sejak mulainya era reformasi. Khususnya Unit Pelayanan Teknis (UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain menggantikan mesin-mesin dan alat-alat pengujian/lab yang sudah usang dengan yang baru.
v  Walaupun bantuan pendanaan memang penting, namun sudah saatnya penekanan dari kebijakan atau program-program pemerintah untuk membantu perkembangan UMKM lebih pada peningkatan pendidikan pengusaha dan pekerja, pengembangan teknologi, dan peningkatan kemampuan inovasi. Selain itu, UMKM baik yang hanya melayani pasar domestik maupun yang menjual produk-produknya ke pasar luar negeri perlu dibantu sepenuhnya (misalnya dengan penyediaan lab. untuk pengujian kualitas barag) agar bisa mendapatkan label Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk meningkatkan kualitas produk dan berarti juga daya saing UMKM.Untuk maksud ini, perlu adanya intensif agar terjalin kerjasama yang erat antara UMKM setempat dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan/pelatihan dan litbang setempat sehingga terjadi peralihan teknologi dan pengetahuan ke UMKM.
Oleh karena itu melihat dampak yang sangat luar biasa merugikan tersebut sebaiknya harus dilakukan antisipasi yang cepat dan menyeluruh. Langkah segera yang dapat diupayakan adalah pemerintah negosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas itu.



DAFTAR PUSTAKA

Bustami, Gusmardi. 2015. Menuju Asean Economic Community. Departemen        Perdagangan Republik Indonesia.
Putong, Iskandar. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Lembaga             Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Comments

Popular Posts