DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP PERTUMBUHAN UMKM DI INDONESIA
Perdagangan bebas adalah
sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau
hambatan perdagangan lainnya.
Perdagangan bebas dapat kita lihat pada Perdagangan Internasional yang sering dibatasi oleh
berbagai pajak negara dan biaya
tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor. Sedangkan Usaha Kecil dan
Menengah disingkat UMKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke
jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan sedikit bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak
termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha dan biasanya memiliki jumlah anggota yang sangat terbatas. Di
Indonesia UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jumlah UMKM hingga
2011 mencapai sekitar 52 juta. UMKM di Indonesia sangat penting bagi ekonomi
karena menyumbang 60% dan menampung 97% tenaga kerja. Pemerintah
Indonesia, membina UMKM melalui Dinas Koperasi dan UMKM, di masing-masing
Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Sejak awal periode
Orde Baru (1966-1998) hingga sekarang ini sudah banyak upaya yang dilakukan
pemerintah untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan usaha UMKM di dalam
negeri dalam berbagai macam program dan kebijakan/peraturan, termasuk
menerbitkan Undang-Undang (UU) UMKM No.20 tahun 2008. Program-program yang
telah/masih dilakukan mulai dari berbagai sistem kredit bersubsidi mulai dari KIK
(Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) pada dekade
1970-an hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperkenalkan oleh Presiden SBY.
Pada era globalisasi dinamika perekonomian dan
perdagangan indonesia dihadapkan pada isu perdagangan bebas regional yang
dikenal dengan AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam perkembangan area
bebas regional seperti CAFTA ( China Asean Free Trade Area) yang secara
faktual berpengaruh pada aktor aktor perekonomian indonesia, termasuk UMKM
(Usaha Mikro Kecil dan Menengah), salah satu industri yang dianggap penting di
indonesia adalah Industri Kerajinan batik. Komoditas ini menjadi salah satu
ikon di Indonesia karena merupakan salah satu warisan nusantara yang berhasil
di sahkan oleh lembaga kebudayaan PBB (UNESCO, United Nation Education
Social and Cultural Organization) sebagai warisan budaya dunia, pengaruh
kerjasama CAFTA (China ASEAN Free Trade Area) terhadap UMKM (Usaha Mikro
Kecil dan Menengah ) industri kerajinan batik indonesia berdampak positif dan
negatif.
Namun banyak studi
maupun data nasional yang ada menunjukkan bahwa kinerja UMKM di Indonesia masih
relatif buruk bukan saja dibandingkan dengan usaha besar (UB), tetapi juga
dibandingkan dengan UMKM di negara-negara maju. Bahkan belakangan ini, muncul
perdebatan terutama dikalangan akademis dan pembuat kebijakan apakah UMKM
Indonesia mampu bersaing di pasar ekspor atau paling tidak bisa bertahan di
pasar dalam negeri terhadap persaingan yang semakin ketat dari barang-barang
impor. Perdebatan ini semakin sengit dengan diberlakukannya CAFTA dan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ME-ASEAN) pada tahun 2015 nanti, yang pada intinya
adalah tidak ada lagi hambatan terhadap arus barang dan jasa, manusia dan modal
antara negara-negara anggota ASEAN.
Oleh karena itu melihat dampak
yang sangat luar biasa merugikan tersebut sebaiknya harus dilakukan antisipasi
yang cepat dan menyeluruh. Langkah segera yang dapat diupayakan adalah
pemerintah negosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas itu atau minimal menundanya,
terutama untuk sektor-sektor yang belum siap. Indonesia perlu melakukan seleksi
produk untuk melindungi industri nasional. Misalnya, garmen Indonesia
dibebaskan masuk ke negara lain, sementara industri makanan dibolehkan masuk.
Pemerintah mencabut pungutan retribusi yang memberatkan dunia usaha di daerah
agar industri lokal menjadi kompetitif dan sekarang dengan mulainya masyarakat
cinta terhadap produk asli indonesia memberikan angin segar terhadap
UMKM/Industri Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mampukah kelompok usaha tersebut bersaing
atau bahkan bertahan terhadap semakin gencarnya barang-barang impor yang masuk
ke pasar domestik?
2. Mampukah UMKM Indonesia memanfaatkan peluang
yang muncul dari diberlakukannya CAFTA (China Asean Free Trade Area) dan nanti pada tahun 2015
ME-ASEAN, yakni kesempatan memperluas pasar ekspor?
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan perdagangan bebas.
2.
Mengetahui dampak negatif dari perdagangan bebas yang terjadi
sekarang ini terhadap UMKM di Indonesia.
2.1 Sekilas Sejarah Perdagangan Bebas
Sejarah dari perdagangan bebas
internasional adalah sejarah perdagangan internasional memfokuskan dalam
pengembangan dari pasar terbuka. Diketahui bahwa bermacam kebudayaan yang
makmur sepanjang sejarah yang bertransaksi dalam perdagangan. Berdasarkan hal
ini, secara teoritis rasionalisasi sebagai kebijakan dari perdagangan bebas
akan menjadi menguntungkan ke negara berkembang sepanjang waktu. Teori ini
berkembang dalam rasa modernnya dari kebudayaan komersil di Inggris, dan lebih
luas lagi Eropa, sepanjang lima abad yang lalu. Sebelum kemunculan perdagangan
bebas, dan keberlanjutan hal tersebut hari ini, kebijakan dari merkantilisme
telah berkembang di Eropa di tahun 1500. Ekonom awal yang menolak merkantilisme
adalah David Ricardo dan Adam Smith.
Ekonom yang menganjurkan
perdagangan bebas percaya kalau itu merupakan alasan kenapa beberapa kebudayaan
secara ekonomis makmur. Adam Smith, contohnya, menunjukkan kepada peningkatan
perdagangan sebagai alasan berkembangnya kultur tidak hanya di Mediterania
seperti Mesir, Yunani, dan Roma, tapi juga Bengal dan Tiongkok. Kemakmuran
besar dari Belanda setelah menjatuhkan kekaisaran Spanyol, dan mendeklarasikan
perdagangan bebas dan kebebasan berpikir, membuat pertentangan
merkantilis/perdagangan bebas menjadi pertanyaan paling penting dalam ekonomi
untuk beberapa abad. Kebijakan perdagangan bebas telah bersibaku dengan
merkantilisme, proteksionisme, isolasionisme, komunisme dan kebijakan lainnya
sepanjang abad.
Sejarah masuknya perdagangan bebas
di Indonesia tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat
kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita yang
masih rendah. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, kita
perlu mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa orde lama
hingga masa reformasi.
2.2 Pemerintahan Mada Masa Orde Lama
Pemerintahan pada masa orde lama
dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan,
keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang
sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang pendudukan
Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blockade
ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan
luar negeri RI.
3. Kas Negara kosong
4. Eksploitasi besar-besaran di
masa penjajahan.
b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Permasalahan ekonomi yang dihadai
oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Program Benteng
(Kabinet Natsir) yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada kabinet ini untuk
pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana
Urgensi Perekonomian (RUP).
2. Nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman).
3. Sistem ekonomi Ali
(kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha
non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit
dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi importer pribumi, sangat
berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur colonial menjadi nasional).
4. Pembatalan sepihak
atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.(Kabinet Burnahudin).
c. Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit
presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan
struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran
bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
Devaluasi yang diumumkan pada 25
Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut:
ü
Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
ü
Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga
barang-baranga naik 400%.
ü
Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp
1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali
lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini
malah meningkatkan angka inflasi.
2.3 Pemerintahan Masa Orde Baru
Prioritas yang dilakukan adalah
pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Modal asing mulai
masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal
1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru
mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi
yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi
Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :
a. Ketergantungan terhadap Minyak
dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber
pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat
berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan
menurunnya pendapatan negara.
b. Ketergantungan terhadap
Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan
dari Migas, pemerintah melakukan penjadualan kembali proyek – proyek
pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan
peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman
luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh
terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat.
Ironisnya, di tahun 986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk
membayar hutang lama ditambah bunganya. Akhir 1970-an, proses pembangunan di
Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses
pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan
pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an,
terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme
kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan
berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal
1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan
“structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai
berikut :
o
Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam
bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan
menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan
berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus
berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi
mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama
melalui devaluasi September 1986).
o
Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi
dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian
harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non
tarif. Kebijakan “Paknov 1988″ yang menghapus monopoli impor untuk beberapa
produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar
berfungsi efektif pada saat itu.
o
Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan
tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal,
meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan
menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan
pembatasan.
o
Kebijakan menciptakan lingkungan legal yang bisa mendorong agar mekanisme
pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan
pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin
kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu.
Dampak dari kebijakan tersebut cukup meyakinkan terhadap
ekonomi makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan
bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung
ekspor non-migas juga meningkat. Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$
70,9 milyar Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Pemerintahan Orde
Baru runtuh. Pemerintahan Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa memperhatikan
pondasi ekonomi yang memberikan dampak sebagai berikut:
Kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan
untuk mendukung proses industrialisasi. Barang–barang impor (berasal dari luar negeri)
lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga
industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut. Pembangunan
tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat
Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha –
pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil
pembangunan.
2.4 Pemerintahan Reformasi
Pemerintahan reformasi diawali
pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo
menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan
Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi
pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang
dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai
Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali
lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,-
sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi
hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus
dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang
yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika.
Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia
sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).
Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar
adalah hutang komersial swasta).
2.5 Dampak Negatif Perdagangan Bebas Terhadap UMKM di Indonesia
Mudah
masuknya produk-produk China yang harganya relatif sangat murah akan mematikan UMKM. Hal itu
dapat menghambat daya saing dari produk-produk UMKM karena masyarakat Indonesia
memiliki tingkat perekonomian yang lemah. Masih banyak masyarakat yang miskin.
Masyarakat Indonesia lebih cenderung menyukai barang yang harganya murah
walaupun mereka tahu barang tersebut bukan produk Indonesia. Bukan berarti
mereka tidak mendukung produk Indonesia atau tidak ingin memajukan produk
Indonesia, melainkan tuntutan ekonomilah yang menuntut mereka membeli produk
yang murah. Produk tekstil dalam negeri kalah bersaing di wilayah timur
Indonesia terutama di Sulawesi produk tekstil China yang menang 30% di pasar
domestik. Untuk itu bagi pelaku UMKM yang menggunakan mesin dan karyawan banyak
dibutuhkan revitalisasi mesin agar bisa produktif. Produk China akan membanjiri
Indonesia. Produk-produk China yang masuk ke sini bukan hanya
barang-barang modal, melainkan juga barang-barang konsumsi yang harganya
supermurah, yang beberapa di antaranya berpotensi merusak kesehatan. Beralihnya
posisi produsen UMKM menjadi pedagang karena produsen merasa mereka akan lebih
aman jika hanya menjadi pedagang. Hal ini tentu sangat fatal akibatnya.
Kebijakan
perdagangan internasional telah mengalami suatu perubahan fundamental di banyak
negara di Asia, khususnya di Asia Tenggara dan Timur, dalam dua decade terakhir
ini. Di Indonesia sendiri, liberalisasi perdagangan luar negeri telah dimulai
bertahap sejak tahun 1986 dan sejak tahun 1994 Indonesia sudah mengurangi
secara signifikan tarif-tarif impornya dari rata-rata tidak tertimbang sekitar
20 persen pada tahun 1994 ke 9,5 persen pada tahun 1998. Pada tahun 1998,
tarif-tarif impor yang dikenakan terhadap berbagai produk makanan juga
dikurangi hingga maksimum 5 persen. Selain tarif-tarif impor, pemerintah
Indonesia juga menghilangkan berbagai macam hambatan non-tarif (NTBs) terhadap
impor and hambatan-hambatan terhadap ekspor. Sejak krisis ekonomi tahun
1997-98, Indonesia telah melakukan berbagai deregulasi di dalam kebijakan
perdagangan luar negerinya untuk komoditas-komoditas utama pertanian
(terkecuali beras untuk alas an-alasan sosial dan politik), dan juga sudah
menghapus praktek-praktek monopoli dalam produksi dan perdagangan di
industri-industri tertentu terutama yang membuat produk-produk perantara atau
bahan baku bagi sektor-sektor lainnya, termasuk semen, kayu lapis dan rotan dan
mengurangi pajak teradap ekspor kayu.
Ada
kepercayaan umum bahwa liberalisasi perdagangan antar negara akan menguntungkan
ekonomi dalam negeri maupun dunia secara keseluruhan. Pada tingkat makro,
jalur-jalur lewat mana liberalisasi perdagangan internasional dapat membawakan
keuntungan-keuntungan secara luas adalah berikut ini: perbaikan alokasi
sumber-sumber daya produksi (dalam arti sumber-sumber daya produksi yang
terbatas akan tersalurkan ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif); akses
ke teknologi-teknologi yang lebih baik atau barang-barang modal dan perantara
dengan teknologi maju (jadi negara-negara yang belum mampu mengembangkan
teknologinya sendiri, termasuk Indonesia, tidak akan ketinggalan dalam
perkembangan teknologi karena dengan mudah bisa didapat dari negara-negara yang
mampu mengembangkan teknologi seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang dan
lainnya); skala ekonomis dan skop (dengan adanya perdagangan antar negara maka
setiap negara bisa memperluas pasarnya sehingga dalam produksinya skala
ekonomis bisa tercapai dan setiap negara bisa memperluas variasi produk yang
dapat diproduksi di dalam negeri dengan berdasarkan spesialisasi); persaingan
di pasar domestik yang lebih besar (dan ini memaksa setiap perusahaan di dalam
negeri untuk meningkatkan daya saingnya lewat peningkatan efisiensi, perbaikan
kualitas produk, dan lainnya); dan adanya pertumbuhan eksternalitas yang
menguntungkan seperti peralihan pengetahuan dan lainnya (Falvey dan Kim, 1992).
Sedangkan pada tingkat mikro, secara teori, liberalisasi perdagangan
internasional, atau seperti CAFTA dan ME-ASEAN 2015 dalam konteks ASEAN, bisa
mempengaruhi secara negatif atau positif perusahaan-perusahaan lokal (misalnya Indonesia)
secara individu lewat empat cara sebagai berikut.
1. Lewat peningkatan persaingan di pasar
domestik. Tarif impor yang rendah atau nol dan tidak adanya pembatasan (kuota)
dan hambatan-hambatan impor lainnya akan meningkatkan daya saing di pasar domestik,
dan hal ini akan memaksa perusahaan-perusahaan lokal yang tidak
efisien/produktif untuk memperbaiki kinerjanya.
2. Pandangan ini sejalan dengan teori umum yang
mana skala usaha diprediksi mempengaruhi secara positif kinerja ekspor dari
perusahaan-perusahaan. Teori perdagangan internasional yang baru menem The new
international trade theory menghipotesakan suatu dampak positif dari luas pasar
dalam pandangan dari skala ekonomis.
Lebih
dari setengah dari perusahaan-perusahaan yang diteliti yang tidak terlibat
dalam perdagangan internasional adalah UMKM. Pada ekstrim lainnya, hampir
setengah dari perusahaan-perusahaan yang diteliti yang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan impor dan ekspor adalah UB dengan mengerjakan lebih dari 200
pekerja. Kelihatannya perusahaan-perusahaan besar lebih berhasil dibandingkan
perusahaan-perusahaan kecil dalam mengintegrasikan kegiatan-kegiatan produksi
mereka ke dalam rantai global dari produksi. Sedangkan studi-studi lainnya itu
menyimpulkan bahwa keberhasilan UMKM dalam liberalisasi perdagangan
internasional, khususnya impor, terletak pada kemampuannya untuk bersaing
dengan produk-produk impor, dan kemampuan ini pada gilirannya tergantung pada
kemampuannya memperluas kapasitas produksi, mendapatkan SDM yang baik dan teknologi-teknologi
Adapun Sikap dalam menghadapi
masalah ini yaitu dengan cara :
- Dengan peningkatan capacity
building industry dalam negeri. Diantaranya dengan memperbaiki
infrastruktur berupa pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, pembangkit
dan jaringan pasokan energi dan sarana pendukung lainnya.
- Kebijakan safeguard yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan
Pengamanan (BMTP).
- Voluntary Export Restraint (VER), hal inilah yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat ketika Negara
ini diserbu oleh produk China. Indonesia dapat meminta China untuk
mencabut subsidi ekspor dan membeli produk Indonesia lebih banyak lagi.
Kesimpulan
Perdagangan
bebas sangatlah memiliki dampak yang buruk terhadap UMKM di negara kita, hal
itulah yang menyebabkan lesu atau bangkrutnya perusahaan-perusahaan kecil yang
ada di sekitar kita dan juga menyebabkan meningkatnya pengangguran di
masyarakat karena terjadinya PHK oleh perusahaan yang bangkrut. Di Indonesia UMKM adalah tulang
punggung ekonomi Indonesia. Jumlah UMKM hingga 2011 mencapai sekitar 52 juta. UMKM
di Indonesia sangat penting bagi ekonomi karena menyumbang 60% dan menampung
97% tenaga kerja. Tetapi akses ke lembaga keuangan sangat terbatas baru 25 atau 13 juta
pelaku UMKM yang mendapat akses ke lembaga keuangan. Pemerintah Indonesia
seharusnya membina UMKM melalui Dinas Koperasi dan UMKM, di masing-masing
Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Perdagangan bebas ASEAN-Cina per
1 Januari 2010 membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah
bersaing. Akibatnya, angka pengangguran diperkirakan melonjak. Pengusaha
Indonesia yang tak mampu bersaing dengan Cina akan gulung tikar atau mengurangi
kapasitas produksinya. Walaupun sudah cukup banyak
program pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang untuk mendukung
perkembangan UMKM di tanah air, kinerja UMKM dan kondisinya di tanah air secara
umum masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan seperti yang telah ditunjukkan di
dalam studi ini, hasil dari sebuah penelitian APEC menunjukkan bahwa daya saing
UMKM Indonesia paling rendah dibandingkan UMKM di sejumlah ekonomi APEC lainnya
yang diteliti. Ini menimbulkan keraguan mengenai kemampuan UMKM Indonesia,
khususnya UMI yang mendominasi jumlah UMKM di tanah air, untuk mampu bersaing
di pasar regional (misalnya ASEAN atau APEC) atau dunia, atau bahkan untuk bisa
mempertahankan pangsa pasar domestik dengan semakin dasyatnya barang-barang
impor membanjiri pasar dalam negeri.
Oleh sebab itu, banyak hal yang
perlu dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang diantaranya
adalah:
v Pembangunan infrastruktur baik fisik (seperti
jalan raya, listrik dan fasilitas komunikasi, dan pelabuhan) dan non-fisik
(seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/pelatihan,
dll), mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga di tingkat provinsi.
v Pemberdayaan kembali semua sentra-sentra UMKM
yang sempat dikembangkan dengan dukungan pemerintah pada era Orde Baru, namun
terlantarkan sejak mulainya era reformasi. Khususnya Unit Pelayanan Teknis
(UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain
menggantikan mesin-mesin dan alat-alat pengujian/lab yang sudah usang dengan
yang baru.
v Walaupun bantuan pendanaan memang penting,
namun sudah saatnya penekanan dari kebijakan atau program-program pemerintah
untuk membantu perkembangan UMKM lebih pada peningkatan pendidikan pengusaha
dan pekerja, pengembangan teknologi, dan peningkatan kemampuan inovasi. Selain
itu, UMKM baik yang hanya melayani pasar domestik maupun yang menjual
produk-produknya ke pasar luar negeri perlu dibantu sepenuhnya (misalnya dengan
penyediaan lab. untuk pengujian kualitas barag) agar bisa mendapatkan label
Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk meningkatkan kualitas produk dan
berarti juga daya saing UMKM.Untuk maksud ini, perlu adanya intensif agar
terjalin kerjasama yang erat antara UMKM setempat dengan perguruan tinggi,
lembaga pendidikan/pelatihan dan litbang setempat sehingga terjadi peralihan
teknologi dan pengetahuan ke UMKM.
Oleh karena itu melihat dampak
yang sangat luar biasa merugikan tersebut sebaiknya harus dilakukan antisipasi
yang cepat dan menyeluruh. Langkah segera yang dapat diupayakan adalah
pemerintah negosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas itu.
DAFTAR PUSTAKA
Bustami, Gusmardi. 2015. Menuju Asean
Economic Community. Departemen Perdagangan
Republik Indonesia.
Putong,
Iskandar. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Comments
Post a Comment